Budaya

Arung Palakka Bukan Hanya Milik Bugis

Arung Palakka bukan hanya ikon kepahlawanan di kalangan orang Bugis. Dia juga milik orang Makassar. Di kalangan orang Makassar, dia adalah Andi Patunru yang membela kehormatan dan nilai kepahlawanan.

***

Jika diminta menyebutkan sosok paling kosmopolit yang hidup di abad ke-17, saya tak ragu untuk menyebutkan Arung Palakka. Dia sosok yang melintasi wilayah dan bertualang ke mana-mana.

Dia lahir di tanah Bugis, besar di Makassar, lalu bertualang Buton, Batavia, hingga tanah Minangkabau. Dia bernegoisasi dengan orang Belanda, berkonflik dengan orang Minang, lalu menguasai perdagangan Batavia.

Di Batavia, yang dulu dikenal sebagai Queen of the East, dia memimpin orang Bugis yang menempati Muara Angke, sering disebut To Angke, lalu menguasai perputaran bisnis emas, dari Sumatera hingga Batavia.

Namun sejarah lebih banyak mencatat episode Arung Palakka saat perang Makassar di mana dirinya bersekutu dengan Belanda. Kita pun melihat dirinya dengan cara pandang masa kini.

Kita melihatnya hanya dengan satu perspektif. Sejarah tidak mencatatnya dengan tinta emas.

Dia seakan hanya milik orang Bugis. Padahal, betapa berwarnanya kenyataan di masa lalu, dan betapa terbatasnya cara pandang kita yang hanya melihatnya sepenggal-sepenggal.

Belum lama ini, saya membaca kisah Arung Palakka dalam buku Perception of the Past in Southeast Asia yang diedit Anthony Reid dan David Marr. Buku yang diterjemahkan dan terbit kembali dengan judul Indonesia dan Masa Lalunya ini menghimpun catatan menarik dari banyak sejarawan.

Dalam buku ini, saya menemukan artikel mengenai Arung Palakka yang ditulis Leonard Andaya, yang pernah menulis buku The Heritage of Arung Palakka.

Sebelum berkisah tentang sosok penting itu Andaya mengurai beda antara tradisi istana dan tradisi pedesaan dalam menulis sejarah, yang di kalangan Bugis disebut attoriolong, sedang di Makassar disebut patturioloang.

Dalam tradisi istana, selalu digambarkan keadaan bumi yang porak poranda, kemudian hadir seorang penguasa dari alam atas (To Manurung) yang menegakkan tatanan baru. Sejarah kemudian dicatat berdasarkan kehadiran penguasa itu.

Lain lagi dengan tradisi pedesaan. Bukan penguasa yang menggerakkan sejarah, melainkan adat dan kebiasaan. Orang Bugis menyebutnya Ade’, orang Makassar Ada’. Nilai-nilai adat yang sangat tua ini ini membentuk kosmos orang desa, di mana terjadi interaksi antara warga biasa, bangsawan, penguasa, dan para dewa.

Para sejarawan takjub dengan cara penggambaran masa silam ini. Bukan ketepatan yang dicari, tapi bagaimana nilai-nilai adat diterapkan dan menjadi senyawa kehidupan masyarakat.

Di titik ini, kita bisa melihat kisah Arung Palakka. Dia orang Bugis, yang di masa lalu berperang dengan Sultan Hasanuddin, pemimpin Makassar.

Dalam perang itu, Arung Palakka adalah musuh bebuyutan. Namun dia sangat diterima dan dihormati orang Makassar. Setelah dia mangkat, makamnya diziarahi dan didoakan. Bahkan dia juga dihadirkan dalam tradisi lisan orang Makassar dengan nada positif.

Andaya mencatat, di tahun 1970-an, ada naskah pementasan berjudul Sinrili’ na Kappala Tallumbatua yang berkisah tetang perang Makassar. Kisah itu dituturkan seorang penutur, dengan bantuan alat musik bertali yang disebut keso-keso.

Dalam kisah itu, Arung Palakka menjadi karakter utama. Dia mendapat nama baru yakni Andi Patunru. Andi adalah gelar bangsawan, sedang Patunru bermakna menaklukkan. Kisah Andi Patunru dituturkan dalam beberapa babak.

Dimulai dari masa kecil sebagai tawanan Gowa, diperlakukan sebagai anak oleh Karaeng Pattingallloang, hingga melarikan diri di usia 25 tahun ke Buton, lalu Batavia, kemudian kembali ke Makassar Bersama Belanda.

Bagian paling menarik buat saya adalah Andi Patunru selalu menjadi simbol dari penegakan nilai-nilai kultural yang menjadi kompas kehidupan masyarakat. Dia menjadi simbol dari keikhlasan untuk menegakkan siri atau rasa malu, juga harga diri.

Dalam banyak kisah, kita lebih sering menemukan cerita seseorang yang dibuat siri atau dipermalukan karena diabaikan. Kita jarang menemukan kisah mengenai seseorang yang merebut kembali harga dirinya atau memulihkan dirinya. Di sinilah posisi Andi Patunru atau Arung Palakka.

Orang Bugis Makassar memegang teguh siri. Mereka ikhlas dicaci maki dan dipermalukan apabila memang merasa salah. Tapi mereka akan melawan dengan kekerasan bisa merasa benar. Lebih baik mati untuk mempertahankan harga diri (mate ri siri’na).

Nilai lain yang diletakkan pada kisah Arung Palakka adalah pacce (dalam bahasa Makassar) atau pesse (dalam bahasa Bugis). Kata Andaya, pacce bermakna sedih atau pedih, tapi mengungkapkan satu emosi yang jauh lebih lembut. Pacce adalah motivasi yang memperkuat perasaan setia kawan di kalangan orang Makassar.

Buku Perceptions of the Past in Southeast Asia dan terjemahannya

Selain bahas Andi Patunru, naskah itu juga membahas Tunisombayya atau penguasa Gowa. Sungguh menarik meihat bagaimana naskah itu menempatkan Tunisombayya sebagai sosok yang hendak melawan nasib, yang disebut taka’dere dan sare.

Kehancuran Gowa karena perang Makassar disebabkan Tindakan pribadi Tunisombayya yang hendak merintangi taka’dere.

Seusai membaca artikel menarik ini, saya merenungkan banyak hal. Mereka yang hidup di masa lalu justru bisa melampaui berbagai kategori yang kita sematkan hari ini. Hari ini kita hanya melihatnya secara hitam putin, seakan-akan ada kawan dan lawan. Orang dulu tidak berpandangan demikian. Mereka selalu melihat semua peristiwa dan kisah dari sisi peneguhan nilai-nilai budaya.

Saya ingat kisah Winnetou yang dikarang Dr Karl May. Ada bagian tentang orang Indian yang selalu mengagumi keberanian, meskipun itu datang dari lawannya, Orang Indian akan mengagumi pemilik keberanian dan keperkasaan, meskipun harus berhadapan di medan tempur.

Hari ini kita melihat masa silam dengan cara pandang masa kini. Padahal, sebagaimana dicatat Anthony Reid, kita hanya bisa merekonstruksi masa lalu. Peristiwa itu ada di ruang obyektif sejarah, di mana kita hanya bisa mereka-reka.

Kita hanya menghampiri, lalu menduga-duga, kemudian mencoba rekonstruksi dengan bantuan metodologi dan teori. Kita hanya bisa menyusun ulang, dengan nalar yang dipenuhi kepentingan hari ini.

Di titik ini, Arung Palakka, sosok yang pernah menguasai Batavia ini, lebih sering terabaikan. Dia menunggu kita di tepian sejarah untuk meninjau ulang banyak hal.

Berkat para peneliti seperti Leonard Andaya, kita melihat lebih jernih dan membersihkan banyak kabut dari sosok besar itu.