
Guru Besar Hukum Tata Negara Unhas Prof Dr Andi Pangerang Moenta SH MH DFM. (dok unhas.tv)
Di tengah pusaran ini, dua lembaga negara memegang peran vital: Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). MK mengawal konstitusi, menguji undang-undang, dan menyelesaikan sengketa pemilu.
MA menguji peraturan di bawah undang-undang dan menangani perkara hukum umum. Prof. Pangerang menilai, di era reformasi, independensi MK relatif terjaga, bahkan lebih baik dibanding lembaga peradilan lain. Demokrasi yang lebih terbuka memberi ruang bagi keduanya untuk berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun, kata dia, kelemahan terbesar penegakan hukum di Indonesia justru berada pada unsur manusianya yakni aparat.
Teori Soerjono Soekanto menempatkan aparat sebagai salah satu dari lima faktor penegakan hukum, bersama hukum itu sendiri, sarana, masyarakat, dan budaya hukum.
Teori Robert Seidman menambahkan faktor kepentingan dan peluang. Dari semua itu, aparat menjadi titik kritis yang menentukan.
“Pengetahuan dan keterampilan aparat kita sudah bagus. Masalahnya ada pada integritas dan sikap. Attitude yang buruk membuat hukum terkesan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” jelasnya.
Solusi yang Prof Pangerang tawarkan sederhana namun mendasar yaitu membangun integritas SDM hukum. Pendidikan dan pelatihan memang penting, tapi sikap adalah fondasi.
Attitude, menurutnya, dibentuk sejak dini di lingkungan keluarga, lalu diperkuat melalui pendidikan formal dan nonformal.
Pesantren, pendidikan militer, dan kepolisian kerap menjadi contoh bagaimana disiplin tinggi dapat ditanamkan. “Kalau integritas aparat kuat, proses penegakan hukum akan jauh lebih baik,” ujarnya.
Dalam konteks itu, peran Fakultas Hukum di sebuah universitas menjadi sangat strategis. Di Universitas Hasanuddin, Prof. Pangerang menegaskan komitmen untuk mencetak lulusan yang bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga berintegritas.
Lulusan yang kelak duduk sebagai hakim, jaksa, pengacara, atau akademisi harus mampu menegakkan hukum demi keadilan sosial, bukan demi kepentingan kekuasaan. “Itulah tujuan pendidikan hukum yang sebenarnya,” katanya.
Di akhir program, host program Amina Rahmah Ahmad menarik satu benang merah: di tengah tarik-menarik antara hukum dan politik, kunci perbaikan ada pada manusia yang menjalankannya.
Hukum dan politik memang tak bisa dipisahkan, tapi keduanya bisa diarahkan menuju tujuan yang sama, asal integritas dijaga.
Harapan tentu selalu ada dimana supremasi hukum kini bertumpu pada generasi baru, yang memahami bahwa hukum adalah panglima, bukan alat.
Sebuah cita-cita yang mungkin terdengar idealis, tapi, seperti sore itu di studio Unhas TV, idealisme adalah bahan bakar yang membuat diskusi semacam ini tetap hidup. (*)