Kasus seorang nenek berusia 85 tahun yang harus digendong untuk mengambil bantuan beras di Makassar bukan sekadar peristiwa administratif yang disalahpahami. Ia telah menjelma menjadi cermin besar tentang bagaimana publik Indonesia hari ini memaknai kehadiran negara, watak birokrasi, dan kualitas empati pejabat publik.
Dalam era metamorfosis digital, satu peristiwa lokal dapat dengan cepat berubah menjadi perdebatan nasional, bukan karena besarnya kebijakan yang dilanggar, melainkan karena luka batin kolektif yang disentuh.
Respons pejabat yang menyebut peristiwa tersebut sebagai “sekadar miskomunikasi” justru memperlebar jarak antara negara dan warga. Pernyataan itu, yang mungkin dimaksudkan sebagai klarifikasi administratif, diterima publik sebagai bentuk pengingkaran terhadap rasa kemanusiaan. Di sinilah kegagalan komunikasi publik bekerja bukan pada tataran teknis, melainkan pada level empati dan kepekaan sosial.
Data analisis sentimen berbasis lexicon terhadap percakapan publik menunjukkan bahwa sentimen negatif mendominasi sebesar 45,1 persen, disusul sentimen netral sebesar 39,6 persen, dan sentimen positif hanya 15,3 persen. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan refleksi dari suasana batin publik.
Dominasi sentimen negatif menandakan kemarahan yang nyata, sementara besarnya porsi sentimen netral menunjukkan kemarahan yang tertahan, dingin, dan berpotensi meledak kembali jika tidak ditangani dengan tepat.
Dalam teori komunikasi, persepsi publik tidak dibentuk oleh niat komunikator, melainkan oleh makna yang ditangkap audiens. Inilah yang ditegaskan dalam pendekatan reception theory, di mana khalayak secara aktif menafsirkan pesan berdasarkan pengalaman dan nilai mereka sendiri.
Dalam kasus ini, publik tidak menafsirkan peristiwa sebagai persoalan prosedur distribusi bantuan, melainkan sebagai simbol ketidakpedulian negara terhadap warga paling rentan.
Narasi yang berkembang di ruang digital menunjukkan pergeseran fokus kritik. Publik tidak lagi memperdebatkan apakah aturan telah dijalankan dengan benar, tetapi mempertanyakan apakah pejabat masih memiliki hati nurani. Kutipan komentar seperti “sekolah tinggi tapi susah ngertinya” atau “pendosa berbaju korpri” memperlihatkan bahwa pendidikan dan jabatan tidak lagi dianggap sebagai legitimasi moral. Ini adalah bentuk delegitimasi etik, bukan sekadar ketidakpuasan layanan.
Fenomena ini sejalan dengan konsep moral framing dalam studi komunikasi, di mana isu publik dibingkai sebagai persoalan benar dan salah secara moral, bukan sekadar efektif atau tidak efektif secara kebijakan. Ketika kebijakan menyentuh kelompok rentan seperti lansia, publik menuntut kehadiran negara yang manusiawi, bukan birokratis. Kegagalan memenuhi ekspektasi ini memicu kemarahan yang bersifat eksistensial, bukan administratif.
Narasi lain yang menguat adalah keyakinan bahwa negara baru bergerak setelah isu menjadi viral. Kalimat seperti “kalau tidak viral, tidak dilayani” mencerminkan krisis kepercayaan struktural terhadap mekanisme pelayanan publik.
Media sosial dipersepsikan bukan lagi sebagai ruang dialog, melainkan sebagai alat tekanan. Ini menandakan kegagalan sistem komunikasi formal dalam menjangkau dan meyakinkan warga.
Dalam perspektif agenda setting, media sosial telah mengambil alih peran sebagai penentu isu publik. Namun yang lebih penting adalah agenda of attributes, yakni bagaimana isu tersebut dinilai. Dalam kasus ini, atribut yang menempel bukanlah soal aturan bantuan sosial, melainkan soal empati, kepedulian, dan watak kekuasaan. Ketika klarifikasi pejabat hanya menekankan aspek teknis, sementara publik berbicara tentang rasa kemanusiaan, maka terjadi benturan makna yang tajam.
Analisis framing publik menunjukkan bahwa birokrasi dipersepsikan lebih patuh pada aturan daripada pada manusia. Komentar publik yang menyebut kantor lurah sebagai “ribet” dan “menyusahkan” bukanlah keluhan baru, melainkan akumulasi pengalaman panjang warga dalam berhadapan dengan sistem pelayanan. Kasus Nenek Wahbah menjadi pemantik karena ia mempertemukan dua hal sekaligus, yaitu kerentanan ekstrem dan kekakuan prosedural.
Dalam teori street-level bureaucracy yang dikemukakan Michael Lipsky, kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh diskresi petugas di lapangan. Publik berharap ada kebijaksanaan dalam menerapkan aturan, terutama ketika berhadapan dengan warga yang secara fisik dan sosial tidak mampu. Ketika diskresi ini tidak terlihat, negara dipersepsikan hadir tanpa wajah manusia.
Menariknya, kritik publik tidak berhenti pada bahasa rasional, tetapi juga menggunakan bahasa moral dan religius. Ungkapan tentang dosa, azab, dan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan menunjukkan bahwa publik sedang menarik persoalan ini ke wilayah nilai yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk koreksi sosial ketika hukum dan prosedur dianggap terlalu jauh dari rasa keadilan. Dalam masyarakat Indonesia yang religius, bahasa semacam ini memiliki daya tekan sosial yang kuat.
Penggunaan bahasa religius dalam kritik publik menandakan runtuhnya kepercayaan simbolik terhadap institusi. Ketika institusi tidak lagi dipercaya sebagai penjaga nilai, publik mencari rujukan moral lain untuk menilai perilaku pejabat. Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi menggerus wibawa negara secara perlahan, terutama di tingkat akar rumput.
Narasi lain yang tak kalah penting adalah pertarungan antara pengalaman pribadi warga dan narasi resmi institusi. Banyak komentar publik yang membandingkan pengalaman mereka sendiri dengan klarifikasi pemerintah.
Dalam konteks komunikasi digital, testimoni personal sering kali lebih dipercaya daripada pernyataan formal. Ini sejalan dengan teori narrative paradigm dari Walter Fisher, yang menyebut bahwa manusia cenderung mempercayai cerita yang terasa masuk akal dan sesuai dengan pengalaman hidup mereka.
Ketika klarifikasi institusi disampaikan dengan bahasa formal dan defensif, sementara publik berbagi cerita nyata tentang sulitnya mengakses layanan, maka negara akan kalah dalam pertarungan narasi. Klarifikasi yang tidak diawali dengan empati justru dipersepsikan sebagai pembelaan diri, bukan tanggung jawab moral.
Data sentimen menunjukkan besarnya kelompok netral yang sesungguhnya kritis. Kelompok ini tidak selalu marah secara terbuka, tetapi menyimpan ketidakpuasan yang mendalam. Inilah yang disebut sebagai kemarahan dingin, kondisi di mana publik tidak lagi berharap banyak, tetapi juga belum sepenuhnya memutus kepercayaan. Jika tidak dikelola, kelompok ini dapat menjadi sumber krisis lanjutan di masa depan.
Dalam konteks manajemen media sosial dan analisis sentimen, kasus ini memperlihatkan pentingnya pendekatan yang berpusat pada manusia. Teknologi analitik mampu mendeteksi lonjakan sentimen negatif, tetapi hanya manusia yang mampu memahami mengapa kemarahan itu muncul. Komunikasi publik tidak cukup menjawab apa yang terjadi, tetapi harus menjawab bagaimana perasaan publik dan mengapa mereka terluka.
Pendekatan human centric dalam komunikasi publik menuntut perubahan cara berpikir. Respons awal tidak boleh dimulai dari pembelaan prosedur, melainkan dari pengakuan rasa. Mengakui perasaan publik bukan berarti mengakui kesalahan hukum, tetapi menunjukkan bahwa negara hadir sebagai entitas yang peduli. Dalam banyak kasus, pengakuan empati justru meredam konflik lebih efektif daripada seribu klarifikasi teknis.
Kasus Nenek Wahbah juga menjadi pelajaran penting tentang risiko komunikasi reaktif. Ketika negara hanya hadir setelah viral, publik membaca itu sebagai ketidakhadiran sistemik. Media sosial akhirnya diposisikan sebagai jalur layanan alternatif, sebuah kondisi yang tidak sehat bagi tata kelola pemerintahan. Negara seharusnya hadir sebelum dipanggil oleh kemarahan publik.
Dalam jangka panjang, kegagalan membaca dan merespons framing publik dapat menggerus kepercayaan secara perlahan namun pasti. Kepercayaan publik tidak runtuh karena satu kejadian, melainkan karena akumulasi pengalaman kecil yang dianggap tidak manusiawi. Kasus ini menjadi simbol karena ia merangkum banyak pengalaman serupa yang selama ini terpendam.
Bagi pemerintah dan aparatur, pelajaran utama dari kasus ini bukanlah tentang memperbaiki redaksi klarifikasi, tetapi tentang membangun budaya empati dalam pelayanan. Aturan tetap penting, tetapi kebijaksanaan dalam menerapkannya jauh lebih menentukan legitimasi. Publik Indonesia hari ini tidak hanya menuntut layanan yang cepat, tetapi juga perlakuan yang bermartabat.
Bagi tim komunikasi dan humas, analisis sentimen harus dimaknai sebagai alat membaca suasana batin publik, bukan sekadar laporan angka. Sentimen negatif yang tinggi adalah sinyal adanya luka, bukan sekadar resistensi. Komunikasi yang baik tidak berusaha memenangi perdebatan, tetapi memulihkan hubungan.
Kasus ini juga menunjukkan potensi besar data sentimen sebagai sistem peringatan dini. Pola kritik moral, bahasa religius, dan dominasi narasi empati dapat menjadi indikator awal krisis kepercayaan. Jika dibaca dengan benar, data semacam ini memungkinkan intervensi komunikasi sebelum isu berkembang menjadi gelombang kemarahan yang lebih besar.
Pada akhirnya, kasus Nenek Wahbah mengingatkan kita bahwa metamorfosis digital bukan hanya soal teknologi, tetapi soal perubahan ekspektasi publik. Di era media sosial, negara dinilai bukan dari seberapa rapi prosedurnya, tetapi dari seberapa manusiawi tindakannya. Manajemen media sosial dan analisis sentimen hanya akan bermakna jika digunakan untuk mendekatkan negara dengan warganya, bukan untuk melindungi diri dari kritik.
Kepercayaan publik adalah mata uang paling berharga dalam pemerintahan modern. Sekali ia tergerus, pemulihannya membutuhkan waktu, konsistensi, dan keberanian untuk berubah. Kasus ini seharusnya menjadi titik refleksi bersama bahwa komunikasi publik yang berpusat pada manusia bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.