Watch Unhas TV Live
Watch Unhas TV Live
Internasional

Prabowo Subianto Mengkritisi Standar Ganda Barat

Darmadi Tariah28 Apr, 2024
Tangkapan layar terbitan The Economist memuat pernyataan Prabowo Subianto

MAKASSAR, UNHAS TV – Prabowo Subianto, presiden terpilih pada Pemilihan Presiden 2024, tampil ke panggung politik global membawa pesan yang sangat penting. Sebagai tokoh yang sebentar lagi akan menjadi representasi Indonesia, orang nomor satu Indonesia di hadapan wajah dunia, pernyataan sikapnya tentang standar ganda yang diterapkan Barat terhadap Palestina dimuat di The Economist (26/04).

Prabowo mengkritik Barat yang memperlakukan Palestina dan Ukraina sangat berbeda. Pesan yang disampaikannya mewakili perasaan jutaan orang Indonesia. The Economist mengutip Prabowo mengatakan, menghargai nyawa warga Ukraina di atas nyawa warga Gaza tidak dapat dipertahankan secara moral.

Berikut terjemahan pernyataan Prabowo Subianto yang diterbitkan The Economist:

PADA tanggal 9 April, menjelang Hari Raya Idul Fitri, TNI Angkatan Udara melakukan penerjunan bantuan kemanusiaan di Gaza. Secara praktis, bantuan ini hanyalah setetes air di tengah kengerian dan kekurangan yang melanda Gaza akhir-akhir ini. Namun, gerakan ini memiliki nilai simbolis yang besar bagi rakyat Indonesia dan bagi saya sebagai presiden terpilih: ini adalah pesan kesedihan dan kepedihan bersama, solidaritas dan dukungan, kepada saudara-saudara kita di Gaza.

Selama enam bulan terakhir, kita telah menyaksikan dengan ngeri bagaimana Gaza dan rakyatnya menjadi sasaran kampanye hukuman kolektif yang kejam, yang melanggar hukum dan norma-norma internasional. Kami berharap dan berdoa agar setidaknya selama Bulan Suci Ramadan penderitaan Gaza akan berhenti, namun ternyata tidak.

Bulan suci kali ini terasa sangat berbeda bagi umat Muslim di seluruh dunia. Ada kesedihan di hati kami karena kami tahu apa yang sedang dialami oleh saudara-saudara kami di Gaza. Mereka selalu ada dalam pikiran, hati, dan doa-doa kami setiap hari.

Sejak tanggal 7 Oktober, saya telah mendengar argumen-argumen yang mencoba mendukung perang di Gaza, sebagai reaksi yang dibenarkan atas serangan yang dilakukan oleh Hamas. Apa yang terjadi pada hari itu sungguh mengerikan. Saya benar-benar merasa prihatin dengan semua warga Israel yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Namun, saya bahkan tidak bisa melihat bagaimana peristiwa 7 Oktober dapat membenarkan apa yang terjadi di Gaza sejak saat itu.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ada orang yang bisa membenarkan pembunuhan terhadap puluhan ribu warga sipil tak berdosa, yang sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak? Bagaimana mungkin ada orang yang bisa membenarkan tingkat kehancuran dan kelaparan serta perampasan yang dialami warga Gaza yang tak berdosa, dalam sebuah kampanye yang diyakini oleh milyaran orang di seluruh dunia telah melanggar semua hukum dan konvensi internasional yang melindungi warga sipil pada masa konflik?

Saya mengatakan ini sebagai seorang Muslim. Saya adalah presiden terpilih dari negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Warga Gaza adalah saudara-saudara seiman kita. Namun, saya mengatakan hal ini pertama-tama dan terutama sebagai seorang manusia. Anda tidak harus menjadi seorang Muslim untuk merasakan penderitaan di Gaza dan Anda tidak harus menjadi seorang Muslim untuk merasa marah atas apa yang terjadi di sana.

Namun kemarahan jelas tidak dirasakan oleh semua orang. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, Barat memimpin kampanye kecaman global. Mereka menyerukan agar dunia mengecam Rusia atas nama hak asasi manusia dan hukum internasional. Namun hari ini, negara-negara yang sama membiarkan konflik berdarah lainnya, kali ini di Gaza.

Bagaimana mungkin penghancuran Kota Gaza tidak bisa dikutuk seperti penghancuran Mariupol? Bagaimana mungkin serangan di Bucha lebih buruk daripada serangan di Rumah Sakit al-Shifa? Bagaimana mungkin membunuh warga sipil Palestina kurang layak dikecam dibandingkan dengan pembunuhan warga sipil Ukraina?

Semakin banyak orang di Indonesia dan di seluruh dunia, di negara-negara Selatan dan juga di Barat, merasa bahwa kegagalan pemerintah-pemerintah Barat dalam menekan Israel untuk mengakhiri perang mengindikasikan adanya krisis moral yang serius. Bagaimana lagi standar ganda ini dapat dijelaskan, di mana kita diminta untuk memiliki satu set prinsip untuk Ukraina dan satu lagi untuk Palestina?

Hampir setahun yang lalu saya menyerukan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Saya menyerukan gencatan senjata karena alasan yang sama dengan yang saya serukan dalam perang yang dilancarkan Israel terhadap Gaza. Saya menyerukan agar pertempuran dihentikan karena warga sipil tak berdosa membayar dengan nyawa mereka; karena kehidupan dan mata pencaharian dihancurkan; karena perang sebesar ini tidak hanya berdampak pada negara-negara dan orang-orang yang terlibat tetapi dapat menyebar dan menelan seluruh wilayah dan benua.

Saya menyerukan gencatan senjata sebagai awal dari perdamaian yang langgeng, karena sebagai seorang Muslim, sebagai seorang Indonesia, saya percaya akan perdamaian dan hidup berdampingan, dalam kesederhanaan dan keharmonisan. Nilai-nilai ini ada dalam DNA negara dan masyarakat kita. Bagi kami, nilai-nilai ini sama relevannya ketika mereka yang menderita adalah orang Eropa, seperti halnya ketika mereka yang menjadi korban adalah orang Asia atau Afrika. Dan nilai-nilai ini sama relevannya ketika mereka yang menjadi korban adalah orang Kristen, Muslim, atau Yahudi.

Bersama dengan banyak negara lain, Indonesia telah melakukan yang terbaik untuk membantu masyarakat Gaza bertahan hidup. Namun, bantuan apa pun yang kita berikan, bantuan udara atau konvoi apa pun yang bisa kita kirimkan, tidaklah cukup.

Kita harus bersatu untuk segera mengakhiri perang ini. Tapi kita tidak boleh berhenti sampai di situ. Jika kita tidak ingin siklus kekerasan dan penderitaan terulang kembali dengan teratur, seperti yang telah terjadi selama delapan dekade terakhir, kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan konflik ini dengan mendirikan sebuah negara Palestina yang merdeka di samping negara Israel yang sudah ada.” []