
“Tema kami Menelusuri Jejak Pengembara Laut,” kata Akram. “Kami ingin mengingatkan generasi muda bahwa laut bukan hanya sumber daya, tapi sumber jati diri.”
Perahu yang mereka pakai bukan kapal modern. Sandeq, perahu tradisional Mandar yang terkenal cepat dan lentur, menjadi kendaraan utama. Mereka berlayar mengandalkan angin dan keberanian.
Tak ada mesin besar atau navigasi canggih. Hanya layar, bintang, peta, dan keyakinan. Kadang angin berhenti, mereka terpaksa berlindung di pulau terdekat. Kadang ombak meninggi, mereka menunggu semalaman. “Tapi di situlah kami belajar,” ujar Akram. “Belajar sabar, belajar tahan, dan belajar bahwa laut harus dihormati.”
Pelayaran 2025 ini sesungguhnya menyambung jejak panjang Korpala Unhas. Sejak 1996, Korpala (Korps Pencinta Alam Universitas Hasanuddin) sudah mencatatkan diri di peta pelayaran tradisional dengan Ekspedisi Pelayaran Akademis menuju Sabah dan Brunei Darussalam, mengikuti jalur perdagangan saudagar Bugis-Makassar.
Tahun 2012, mereka menapak tilas rute pencari teripang dari Makassar ke Darwin, Australia, sejauh 1.400 mil laut, membuka kembali kesadaran bahwa ada hubungan budaya yang lama terjalin antara Sulawesi dan pantai utara Australia.
Kini, pada 2025, arah pelayaran digeser ke utara. Mereka menyusuri lintasan yang dahulu ditempuh para pengembara Bugis menuju Semenanjung Malaya dan Siam. Jalur itu, pada masa lampau, bukan sekadar rute ekonomi, melainkan sumbu peradaban maritim.
Di sanalah pelaut Bugis menanamkan prinsip dagang, etika perantauan, dan diplomasi pelabuhan ke pelabuhan yang membuat mereka disegani.
Bagi Akram dan timnya, pelayaran ini adalah “kelas terbuka di atas laut.” Mereka belajar navigasi, tentu, tetapi lebih dari itu mereka belajar sejarah dari ruang aslinya. “Kami membaca angin seperti membaca sejarah,” ucapnya. “Setiap gelombang membawa pesan dari masa lalu.”
Di belakang layar, ekspedisi ini juga dikuatkan jaringan lintas generasi. Para alumni Korpala yang dulu ikut pelayaran ke Brunei dan ke Darwin ikut membantu memetakan jalur, memeriksa kondisi sandeq, dan berbagi pengalaman menghadapi badai. “Kami belajar dari mereka bahwa laut tidak bisa dilawan, hanya bisa dihormati,” kata Akram.
Ketika sandeq itu akhirnya memasuki perairan Krabi, matahari mulai turun. Langit berubah oranye keemasan. Ombak kecil mengusap lambung perahu, seolah menyambut para tamu dari selatan. Di ujung perjalanan panjang itu, laut seperti berbicara dalam diam, seakan memberi selamat atas interaksi selama beberapa bulan.
Pelayaran ribuan mil itu mungkin sudah selesai, layar mungkin sudah diturunkan. Tetapi maknanya akan berjalan lebih jauh daripada perahu itu. Sebab yang mereka temukan bukan sekadar koordinat baru, melainkan rasa lama yang sempat terlupakan: bahwa orang Bugis dan Makassar, pada dasarnya, adalah anak-anak laut.
Sebelum menutup pesannya, Akram mengucapkan satu kalimat yang terdengar sederhana, tapi sesungguhnya berisi seluruh pesan ekspedisi ini: “Jangan pernah memunggungi lautan.”








