
Cummings menunjukkan bahwa transisi ini tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia didorong oleh keruntuhan struktur kekuasaan tradisional dan datangnya rezim kolonial yang mempersempit ruang gerak para aristokrat lama.
Dalam situasi seperti itu, strategi bertahan hidup tidak datang dalam bentuk perlawanan frontal, tetapi melalui penyesuaian budaya dan spiritual. Para bangsawan yang dulu menjadi pemilik darah merah kini menulis silsilah keluarga, menyalin kitab, memelihara manuskrip, dan menjadi penjaga warisan intelektual.
Lebih dari sekadar bertahan, mereka menggubah kekuasaan menjadi kearifan. Mereka tetap menjadi pusat rujukan sosial, bukan karena takhta, tetapi karena pengetahuan.
Relevansi Making Blood White
Dengan menuliskan kisah-kisah semacam ini, Making Blood White tidak hanya menceritakan sejarah bangsawan Makassar, tapi juga memperlihatkan bagaimana manusia mampu menafsirkan ulang martabatnya ketika dunia yang mereka kenal telah runtuh.
Dan dalam reruntuhan itu, darah putih mengalir tenang, membawa makna baru tentang apa artinya menjadi mulia.
Setelah kehancuran politik, para bangsawan Makassar tidak sepenuhnya tersingkir. Sebaliknya, mereka menjelma menjadi pemuka adat, pengelola masjid, penjaga pengetahuan lokal. Mereka tak lagi mengangkat pedang, tetapi pena dan kitab suci.
Dengan menulis silsilah, kronik, dan hikayat, mereka membangun kembali struktur sosial yang runtuh. Mereka mengklaim darah putih sebagai warisan spiritual dan kultural.
Ini bukan pengakuan kalah, tapi bentuk kelangsungan yang cerdik. Dalam bahasa antropologi, inilah bentuk dari cultural resilience: ketika yang tampak berubah, tetapi makna dalamnya tetap bertahan.
Kini, jika kita berjalan-jalan di kawasan Gowa, kita masih bisa mendengar orang berbicara tentang “dara pute’” dengan bangga. Gelar-gelar seperti Karaeng, I Mangngilu, dan Puang masih dipakai, tidak sekadar sebagai peninggalan aristokrasi, tetapi sebagai identitas kultural.
Apa yang ditinggalkan oleh Cummings dalam Making Blood White adalah pemahaman baru bahwa sejarah tidak selalu ditentukan oleh siapa yang menang perang, tetapi oleh siapa yang sanggup menulis ulang makna tentang siapa dirinya.
Darah putih adalah bukti bahwa bangsawan Makassar tidak pernah benar-benar tumbang. Mereka hanya berubah rupa, dari penguasa medan tempur menjadi penguasa narasi. Dan seperti darah yang terus mengalir dalam tubuh sejarah, mereka tetap hidup, dalam kata-kata, dalam silsilah, dalam doa yang dibisikkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana digambarkan oleh penyair D. Zawawi Imron dalam bait puisinya yang menghentak dan penuh hormat:
Engkau ayam jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin// Berperang terus sampai langit runtuh// Pedangmu patah, engkau gigit musuhmu// Kau ajarkan kami: kalah tidak berarti menyerah
Sultan Hasanuddin telah pergi, tetapi semangatnya tetap tinggal. Dalam darah putih para bangsawan yang menolak tunduk pada narasi penjajah, dan dalam syair yang terus hidup di lidah anak-anak Sulawesi.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Pernah kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.