Unhas Story

Duta Remaja, Santri, dan Mahasiswa, Jejak Akhdan Nur Syauki Menjawab Tantangan Zaman




Juara Duta Remaja Sulawesi Selatan 2025 Akhdan Nur Syauqi . (dok unhas.tv)


Di forum Duta Remaja Sulawesi Selatan, ia membawa advokasi bertajuk cultural digitalization—sebuah inisiatif untuk mendokumentasikan nilai-nilai budaya lokal melalui media digital. Ia mencita-citakan adanya pentas seni, lomba budaya, dan kampanye daring agar budaya Sulsel tidak luntur tergerus tren global.

Dalam forum-forum publik, Ahdan tak hanya berbicara soal budaya dan bahasa. Ia juga vokal soal krisis identitas remaja. “Banyak remaja hari ini kehilangan arah. Dunia digital seperti pisau: bisa menyelamatkan, bisa melukai,” katanya.

Ia prihatin melihat budaya lokal direduksi jadi konten yang sensasional. Salah satunya, peristiwa seorang model yang mengenakan baju adat Bugis secara tidak pantas. “Itu tanda budaya kita mulai dilupakan,” tegasnya.

Solusinya? “Remaja harus kembali pada akar. Kembali mengenal budaya. Tapi pendekatannya harus dengan bahasa zaman, digital.”

Meski kini dikenal sebagai Duta Remaja, suara Ahdan masih santri. Ketika ditanya apa warisan pesantren yang paling ia jaga, ia menjawab tanpa ragu: amanah. “Ilmu itu penting, tapi kalau tak bisa jaga amanah, semua hilang maknanya,” katanya.

Ia juga percaya, menjadi santri adalah privilege. “Saya punya pegangan nilai, dasar agama yang kuat. Itu kompas moral saya di tengah dunia kampus dan publik yang sangat dinamis.”

Tak heran, ketika ditanya soal impiannya, jawabannya tak muluk-muluk. “Saya ingin jadi agen perubahan. Memberikan manfaat buat orang lain. Kata Nabi, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat,” katanya.

Ahdan bukan tanpa rintangan. Beberapa idenya di organisasi pernah ditolak. Namun, ia memilih bijak. “Kita harus belajar menekan ego. Organisasi itu rumah bersama.”

Pandangan ini sejalan dengan sikap intelektualisme yang ia harap tumbuh dalam diri mahasiswa. “Gerakan mahasiswa bukan hanya turun ke jalan. Tapi juga menjaga prestasi, berpikir kritis, dan membangun solusi,” tegasnya.

Tak hanya piawai berorasi, Ahdan juga bersuara merdu. Ia menutup wawancara dengan membawakan lagu daerah Bugis Udanit Bali—lagu tentang dinamika rumah tangga yang sarat makna. “Saya ingin terus membawa budaya ke panggung-panggung publik. Lewat suara, lewat bahasa, lewat karya,” tutupnya.

Ahdan adalah cermin generasi muda yang menjembatani nilai lama dan dunia baru. Ia membuktikan bahwa menjadi santri tak berarti tertutup dari dunia luar.

Sebaliknya, justru menjadi fondasi untuk menapaki tantangan zaman. Ia tak hanya menjawab tantangan, tapi menciptakan peluang. Dan yang lebih penting, ia melakukannya dengan rendah hati, santun, dan bernilai.

Jika benar bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh generasinya, maka dengan sosok seperti Ahdan Nursyauki, kita punya alasan untuk optimistis. (*)