Oleh: Yusran Darmawan*
Seorang anak duduk di tepi gunung. Tangannya mungil, tetapi kuat. Ia mengangkat palu, menghantamkan ke batu. Satu kali, dua kali. Serpihan beterbangan, tetapi batu tetap teguh. Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu kembali mengayunkan palu. Siang terik, matahari seolah membakar kulitnya, tetapi ia tak bergeming.
Anak itu adalah Andi Amran Sulaiman. Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, dalam keluarga yang lebih mengenal kerja keras ketimbang kenyamanan. Ia bukan satu-satunya anak yang tumbuh dalam kemiskinan.
BACA: Jamaluddin Jompa: Anak Laut yang Kembali ke Samudera Ilmu
Ia bukan satu-satunya bocah yang bekerja memecah batu, menggali sumur, menjual ubi, atau menggembala sapi. Tetapi, entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak hancur seperti batu yang dihantamnya setiap hari.
Nietzsche pernah menulis: "That which does not kill us makes us stronger." Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat. Kata-kata ini seolah menjelma dalam sosok Amran. Kemiskinan, kerja kasar, keterbatasan—semua itu tidak melemahkannya, tetapi membentuknya menjadi sosok yang lebih tangguh.
Dari Batu ke Bisnis
Dalam biografi orang-orang besar, kita sering membaca tentang titik balik. Tentang peristiwa yang mengubah hidup seseorang, yang membuatnya memilih jalan lain.
Bagi Amran, mungkin itu adalah saat ia mulai memahami bahwa pendidikan adalah tiket keluar dari kehidupan yang sempit. Ia belajar dengan tekun, lulus dari Universitas Hasanuddin, dan bahkan meraih gelar doktor.
Tetapi ia tahu, sekadar menjadi pintar tidak cukup. Dunia tidak bergerak hanya karena angka-angka di atas kertas. Dunia bergerak karena kerja.
Amran pernah bekerja di sebuah perusahaan negara. Ia naik jabatan, dihormati, tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia melihat kecurangan, sesuatu yang bertentangan dengan idealismenya. Ia memilih keluar, melawan arus yang aman, dan mendirikan usahanya sendiri.