Oleh: Yusran Darmawan
Di sebuah desa pesisir Sulawesi Selatan, seorang anak lelaki berdiri di tepi pantai, matanya menatap takjub pada hamparan laut yang seakan tak bertepi. Ombak kecil berkejaran, membasahi kakinya, sementara angin membawa bau asin yang khas.
Ia melihat ke dalam air, mencoba menangkap gerakan ikan kecil yang berenang lincah di antara pasir dan batu. Di benaknya, laut bukan sekadar air yang luas, tetapi sebuah dunia yang hidup, penuh misteri, penuh kemungkinan.
Anak itu bernama Jamaluddin Jompa. Ia lahir pada 8 Maret 1967 di Takalar, Sulawesi Selatan, dari keluarga sederhana—ayahnya seorang "tentara kecil," prajurit rendahan yang juga seorang petani.
Dua dunia yang tampaknya bertolak belakang, tetapi dalam kehidupan ayahnya, keduanya saling menopang. Bertani adalah ketahanan, sedang menjadi tentara adalah bentuk kepatuhan. Mungkin dari ayahnya pula, Jamaluddin belajar bahwa hidup adalah keseimbangan antara keteguhan dan keluwesan—seperti laut, yang bisa tenang namun juga bisa bergolak.
Masa kecilnya dilingkupi oleh suara alam: desir angin, nyanyian burung, dan terutama gemuruh laut. Laut yang mula-mula hanya keindahan di mata seorang bocah perlahan berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya.
Apa yang ada di bawah permukaan itu? Bagaimana ikan-ikan hidup? Kenapa laut bisa berubah warna? Pertanyaan-pertanyaan yang kelak akan membawanya ke jalur akademik yang jarang ditempuh oleh anak-anak sebayanya.
BACA: Saat Adi Maulana Menafsir Bumi
Ia belajar Ilmu Kelautan dan Perikanan di Universitas Hasanuddin. Keputusan yang, bagi sebagian orang, mungkin tampak aneh—mengapa tidak menjadi dokter, insinyur, atau profesi lain yang lebih jelas jalannya? Tetapi bagi Jamaluddin, ini bukan sekadar pilihan akademik. Ini adalah panggilan.
Ia meraih gelar magister dari McMaster University, Kanada, pada tahun 1996, dan gelar doktor dari James Cook University, Australia, pada tahun 2001. Di kampus, ia tidak hanya belajar tentang laut dari buku, tetapi juga dari pengalaman: menyelam, meneliti, melihat dengan matanya sendiri bagaimana ekosistem laut bekerja, bagaimana manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh samudera.
Dan di situlah ia menemukan perannya: menjadi seorang ilmuwan kelautan. Penelitiannya melintasi batas-batas laboratorium dan menjangkau kebijakan. Ia berbicara tentang perubahan iklim, tentang bagaimana laut yang dulu ia kagumi kini terancam.
Ia tidak hanya berdiri sebagai akademisi di menara gading, tetapi juga sebagai suara bagi laut yang ia cintai sejak kecil.