
Salah satu kontribusi signifikan Jamaluddin adalah penelitiannya tentang degradasi terumbu karang dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Ia menyoroti dampak polusi dari daratan, praktik penangkapan ikan yang merusak, dan perubahan yang terjadi seiring waktu terhadap ekosistem terumbu karang.
Dalam sebuah wawancara, ia mengungkapkan, "Dari dulu saya tertarik dengan laut karena laut menginspirasi saya bahwa laut itu penuh dengan misteri."
Dia mungkin teringat akan pelajaran masa kecilnya—bahwa laut selalu menyimpan rahasia, dan tugas manusia adalah memahaminya.
Seperti yang pernah ditulis Rachel Carson dalam The Sea Around Us, “To stand at the edge of the sea… is to have knowledge of things that are as nearly eternal as any earthly life can be.” Berdiri di tepi laut adalah berdiri di ambang keabadian, tempat ilmu dan misteri bertemu.
BACA: Senyuman yang Kembali: Perjalanan Prof Ruslin, Dari Tentara ke Bedah Mulut
Waktu membawa Jamaluddin ke puncak lain: ia menjadi guru besar dan Rektor Universitas Hasanuddin. Sebagai seorang ilmuwan kelautan, ia memahami betul bahwa lautan penuh dengan arus yang tak terduga—seperti halnya tantangan dalam dunia pendidikan tinggi.
Ada ombak globalisasi, arus deras disrupsi teknologi, hingga badai persoalan klasik seperti akses pendidikan, kualitas riset, dan relevansi lulusan dengan dunia kerja. Di tengah tantangan itu, ia mengambil kendali kemudi, memastikan Unhas tetap berada di jalur yang benar.
"Universitas bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat menyiapkan masa depan," ungkapnya dalam sebuah wawancara. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya melihat Unhas sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai wadah yang membentuk generasi penerus bangsa.
Sebagai nakhoda, ia membawa Unhas lebih dekat dengan dunia internasional. Di bawah kepemimpinannya, Unhas semakin aktif dalam riset global, berkolaborasi dengan universitas-universitas terkemuka, dan mengembangkan program-program yang relevan dengan tantangan zaman.
Seperti kapal yang perlu mengikuti arus angin dan gelombang, Unhas di bawah kepemimpinannya harus menyesuaikan diri dengan perubahan dunia, tanpa kehilangan identitas dan akar budayanya sebagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia Timur.
Namun, sebuah pelayaran bukan hanya tentang menaklukkan lautan, tetapi juga tentang menemukan daratan—pulau harapan yang menjadi tujuan akhir. Pulau harapan bagi Unhas bukan sekadar peringkat akademik yang lebih tinggi atau lebih banyak publikasi ilmiah.
Pulau harapan itu adalah terciptanya generasi ilmuwan, pemimpin, dan inovator yang membawa manfaat bagi masyarakat.
Seperti seorang pelaut yang tahu bahwa peta dan kompas hanya alat bantu, Jamaluddin tahu bahwa angka-angka akademik hanyalah indikator, sementara keberhasilan sejati diukur dari dampak nyata yang diberikan universitas kepada dunia.
Mungkin, di sela-sela kesibukannya sebagai rektor, ia masih menyempatkan diri menatap laut—sama seperti saat kecil. Laut yang mengajarkannya bahwa kepemimpinan adalah tentang membaca gelombang, menyesuaikan arah, dan tetap berani berlayar menuju cakrawala.
Laut yang dulu menjadi inspirasinya, kini menjadi metafora dari perjalanan panjangnya sebagai pemimpin, ilmuwan, dan pendidik.
Ia mengingatkan kita pada kata-kata Jacques Cousteau, sang pelopor eksplorasi bawah laut:"The sea, once it casts its spell, holds one in its net of wonder forever." Laut, sekali ia menebarkan pesonanya, akan menahan seseorang dalam jaring keajaibannya selamanya.
Laut, sejak kecil telah memesonanya, kini memanggilnya untuk menjaga dan memperjuangkannya. Dan ia, anak yang dulu bermain di tepi pantai, kini berdiri di garis depan, memastikan bahwa laut tak hanya menjadi kenangan, tetapi juga masa depan.