Unhas Figure

Senyum yang Kembali: Perjalanan Prof. Ruslin dari Tentara ke Bedah Mulut

Oleh: Yusran Darmawan


Di sebuah ruang operasi yang terang benderang, seorang anak kecil terbaring tenang di bawah sorotan lampu. Napasnya teratur, wajahnya masih mungil dengan celah di bibirnya—sebuah takdir yang belum tentu ia pilih. Namun, di balik masker, sepasang mata penuh dedikasi menelusuri setiap detail. 

Tangan itu, yang kini menggerakkan pisau bedah dengan presisi, adalah milik Prof. drg. Muhammad Ruslin, M.Kes., Ph.D., Sp.BM(K). Ia bukan hanya dokter gigi, bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga seseorang yang mengembalikan senyum kepada mereka yang hampir kehilangan harapan.

“Ketika anak-anak ini pulang setelah operasi, saya membayangkan mereka tumbuh tanpa rasa malu, bisa tertawa tanpa menutup mulut,” ujar Prof. Ruslin dalam sebuah wawancara. Kata-katanya sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan filosofi mendalam: bahwa pekerjaan seorang dokter tak sekadar menyembuhkan, tetapi juga mengembalikan harga diri.

Mimpi Tentara yang Berbelok Arah

Siapa sangka, pria yang kini memimpin berbagai operasi bedah mulut ini dulunya bermimpi menjadi tentara? Lahir di Pangkajene pada 2 Juli 1973, masa kecilnya dipenuhi impian tentang seragam hijau loreng dan sepatu bot mengkilat. Ia ingin menjadi seseorang yang gagah, tegap, berdiri di garis depan demi negara.

BACA: Sumbangan Baja, Seniman Geo-Spasial di Birokrasi Unhas

Namun, kehidupan selalu memiliki jalannya sendiri. Mimpinya menjadi tentara pupus, dan ia menemukan dirinya memasuki Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. “Awalnya saya tidak pernah berpikir menjadi dokter gigi,” kenangnya. “Tapi ketika mulai belajar, saya sadar bahwa di sini pun saya bisa berkontribusi untuk banyak orang.”

Langkahnya tidak terhenti setelah meraih gelar dokter gigi pada tahun 2000. Ia melanjutkan ke jenjang spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial serta meraih gelar Magister Kesehatan. Ketertarikannya pada bidang ini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa banyak pasien dengan kelainan wajah, rahang, atau akibat trauma kecelakaan, memerlukan intervensi yang kompleks. “Ini bukan hanya soal estetika,” katanya suatu kali. “Ini soal fungsi. Soal bagaimana seseorang bisa makan, berbicara, dan tersenyum dengan normal.”

Dari Demonstrasi ke Meja Operasi

Tapi, masa mudanya bukan hanya dihabiskan di ruang kuliah dan laboratorium. Seperti banyak mahasiswa pada zamannya, ia juga seorang aktivis. Di era Reformasi 1998, ketika mahasiswa turun ke jalan menuntut perubahan, ia ada di sana.

“Kami tidak bisa diam. Saat itu, ada yang terasa sangat salah dengan negeri ini,” kenangnya suatu waktu. “Demokrasi seharusnya milik rakyat, bukan milik segelintir orang.”

Bersama ribuan mahasiswa Universitas Hasanuddin, ia ikut dalam gelombang demonstrasi yang mengguncang Makassar dan kota-kota lainnya di Indonesia. Dari teriakan di jalanan, dari poster-poster yang diangkat tinggi, ia belajar bahwa perubahan tidak bisa ditunggu—perubahan harus diperjuangkan.

Siapa sangka, seorang yang pernah meneriakkan tuntutan reformasi di jalanan kini berdiri di ruang akademik, mengajar mahasiswa, dan mengubah kehidupan pasiennya satu per satu? “Mungkin ini jalan saya,” katanya.

“Dulu saya berpikir perubahan itu harus dilakukan dengan revolusi, dengan demonstrasi. Tapi sekarang saya tahu, perubahan bisa datang dengan cara lain—dengan ilmu, dengan tindakan nyata.”


>> Baca Selanjutnya