UNHAS.TV - Di ruang studio yang temaram oleh lampu sofbox milik Unhas TV, Saur Marlina Manurung, atau yang lebih dikenal sebagai Butet Manurung menyapa pemirsa dengan senyum serupa obor kecil.
Sosok perempuan yang namanya telah lama menjadi mitos dalam dunia pendidikan alternatif Indonesia ini berbagi kisah dan inspirasi.
Rambutnya yang ikal dan sorot matanya tajam namun hangat—persis seperti cerita-cerita tentangnya di tengah belantara Jambi dua dekade silam.
“Aku selalu penasaran dengan dunia luar,” kata Saur membuka cerita. Nada suaranya datar tapi menyimpan semacam gelora lama yang tak padam.
“Dari kecil, aku dilarang main keluar. Dilarang pramuka, dilarang ke rumah teman tanpa orang tua. Jadi pelarianku cuma satu: buku,” tutur perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini.
Butet kecil tumbuh di Jakarta dengan orang tua yang amat protektif. Hampir seluruh dunianya berputar di dalam rumah. Tapi justru dari keterbatasan itulah tumbuh imajinasi liar tentang petualangan.
Rak-rak bukunya penuh dengan Lima Sekawan, Asterix hingga kisah-kisah arkeolog fiktif Indiana Jones. “Aku kira dunia orang hutan itu seperti lembar-lembar buku itu,” ujarnya sambil tersenyum. “Seru, liar, dan penuh kejutan.”
Sejak SMA ia mulai mencicipi hutan sungguhan, mendaki gunung, dan belajar bertahan hidup. Maka ketika kesempatan mengajar masyarakat adat rimba di Jambi muncul pada usia 27 tahun, ia tak banyak ragu. Ketakutannya justru bukan pada binatang berbisa atau malam tanpa listrik.
“Aku malah takut kerja di kota,” katanya terkekeh. “Takut kerja pakai rok, pakai sepatu tinggi, duduk di kantor ber-AC tiap hari. Aku takut hidupku seperti itu-itu saja.”
Diusir, Ditolak, Dicurigai
Ketika pertama kali masuk wilayah orang rimba, Butet mengira bekal pengetahuannya soal survival sudah cukup. Ia salah. “Yang mengagetkan itu bukan hidup di hutan,” katanya. “Yang mengagetkan justru budaya mereka.”
Ia bercerita saat pertama datang, hanya karena menggenggam pulpen, semua orang lari. Pulpen dianggap “setan bermata runcing”—benda yang konon membuat orang kota menipu orang rimba yang tak bisa baca.
“Aku memuji anak kecil, bilang lucu. Mereka langsung mengusirku,” ujarnya. Dalam adat rimba, memuji anak dianggap mengundang roh jahat yang menculik balita. Maka anak-anak harus dicaci, bukan dipuji.
Bahasa pun tak ia kuasai. Komunikasinya lebih sering dengan isyarat: menunjuk makanan, menggerakkan tangan, atau menirukan suara binatang. “Aku datang sebagai orang kota. Dan orang kota itu, bagi mereka, jahat semua,” lanjut aktivis sosial dan antropolog Indonesia ini.
Ia ditolak selama tujuh bulan. Diusir berkali-kali. Tetapi setiap kali keluar rimba dan tidur di desa, ia justru gelisah.
“Yang bikin aku bangun setiap pagi dengan semangat itu bukan kota,” katanya. “Itu hutan dan anak-anak yang menunggu belajar.”
Ketika ia sempat berpikir menyerah, bayangan dirinya di usia tua muncul: seorang perempuan terbaring di rumah sakit, menyesali keputusan berhenti mengajar. “Aku tak mau hidupku berakhir dengan penyesalan,” katanya pelan. “Jadi aku coba sekali lagi.”
Hingga pada bulan ketujuh, akhirnya ia diterima. Bukan dengan pesta, bukan pula dengan upacara adat. Melainkan dengan sebuah kebutuhan mendesak: belajar.
Ketika Pulpen Tak Lagi Setan
Proses mengajar dimulai dari cara yang paling sederhana. Tanpa pulpen, tanpa buku. “Aku pakai arang, aku gambar di tanah, aku hitung pakai batu,” katanya. Ia menunggu momen mereka sendiri yang meminta belajar lebih banyak.
Dan momen itu datang pada sebuah hari penuh ketegangan. Ada perselisihan batas tanah antara orang desa dan orang rimba. Perjanjian dibuat, ditulis dengan bahasa formal, diberi materai. Tinggal cap jempol kepala suku.
Tiba-tiba seorang murid Butet—yang baru belajar membaca dengan gagap—mengangkat tangan. “Tunggu dulu,” katanya. “Aku baca dulu.”
Ia mengeja pelan. Suu–rat… Per–jan–jian. Seluruh kelompok hening. Dan di tengah hening itu, ketahuanlah isi surat berbeda dari kesepakatan lisan. “Batas utara yang ditulis sebenarnya bukan yang disepakati,” kata Butet.

Saur Marlina Manurung, atau yang lebih dikenal sebagai Butet Manurung saat berbincang dalam program Unhas Figure di Unhas TV. (dok unhas tv)
Anak itu menyelamatkan sukunya dari penipuan. Sejak saat itu, wajah anak-anak rimba tak lagi takut pada huruf. Pulpen bukan lagi setan bermata runcing—tetapi pedang yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
“Sejak itu, 13 tumenggung yang tadinya mengusir-ku, memanggilku. Mereka sadar tulisan bisa melindungi,” ujar Butet.
Sekolah rimba pun lahir. Bukan sekolah formal: tak ada ujian nasional, tak ada meja kursi. “Bahasa rimba wajib, adat mereka wajib,” kata Butet. “Yang dinilai lulus bukan kami, tapi orang tua mereka.”
Di tengah proses itu, Butet jatuh sakit malaria. Ibunya yang seorang antropolog, datang dari Jakarta. Awalnya ingin memaksa putrinya pulang. Tetapi setelah melihat langsung anak-anak belajar dengan riang, ia justru ikut mengajar.
“Anak-anak memanggilku ibu guru, dan ibuku nenek guru.Ibuku akhirnya jadi suporter terbesar,” kata Butet sambil tertawa.
Kini, setiap ada orang tua yang ragu melepas anaknya menjadi relawan sekolah rimba, Butet menyuruh mereka bicara dulu pada sang ibu.
Pendidikan yang Menyelesaikan Masalah
Setelah bertahun-tahun hidup bersama masyarakat rimba, Butet menyimpulkan satu hal: pendidikan harus menyentuh masalah yang paling esensial. “Tujuan belajar bukan untuk dapat gaji besar,” katanya, “tapi menyelesaikan masalah kelompok.”
Karena itu kurikulum sekolah rimba bertumpu pada dua hal: literasi dasar dan advokasi. Anak-anak diajarkan membaca bukan supaya pandai, melainkan supaya tidak ditipu.
Mereka diajarkan menulis bukan untuk puisi, melainkan untuk membuat surat kepada presiden atau Menteri Kehutanan ketika hutan mereka terancam.
“Aku orang Jakarta,” katanya. “Aku bisa pergi kapan saja. Tapi masa depan mereka harus bisa dijaga oleh mereka sendiri.”
Wawancara di studio akhirnya selesai. Kamera dimatikan. Tapi kisah Butet Manurung—perempuan yang meninggalkan kenyamanan kota demi terang kecil di tengah belantara—seperti masih terus bergema.
Dari rimba ia belajar, bahwa pendidikan bisa lahir dari tanah, dari arang, dari langkah-langkah kaki yang tak kenal meja dan seragam.
Dan dari rimba pula ia tahu, bahwa keberanian sejati bukan soal menembus hutan—melainkan bertahan ketika ditolak, diusir, dan tetap memilih kembali. Sampai akhirnya diterima. Dan di situlah perubahan dimulai. (*)
Saur Marlina Manurung, atau yang lebih dikenal sebagai Butet Manurung saat berbincang dalam program Unhas Figure di Unhas TV. (dok unhas tv)







