Dari Unhas ke Amsterdam, Kembali untuk Negeri
Dedikasinya pada ilmu kedokteran membawanya ke luar negeri. Ia melanjutkan pendidikan doktoral di VU University Medical Center di Amsterdam, Belanda, sebuah perjalanan akademik yang tidak mudah, tetapi dijalaninya dengan tekad kuat. Di sana, ia meneliti lebih dalam soal bedah maksilofasial, mencari teknik terbaik untuk menyelamatkan pasien dari cedera wajah yang parah.
Namun, setelah mendapatkan gelar Ph.D., ia tidak tergoda untuk menetap di luar negeri seperti banyak akademisi lainnya. “Saya ingin kembali,” katanya singkat. “Ilmu yang saya dapatkan harus berguna bagi masyarakat di sini.”
Ia pun pulang ke Indonesia dan terus berkarya di Universitas Hasanuddin, mendidik generasi baru dokter gigi dan spesialis bedah mulut. Karier akademiknya menanjak hingga ia dipercaya menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unhas, sebelum akhirnya diangkat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan.
Sebagai Wakil Rektor, tanggung jawabnya semakin luas. Ia tak hanya mengurus pendidikan kedokteran, tetapi seluruh kebijakan akademik universitas. Meski demikian, ia tetap turun langsung ke lapangan, menggelar operasi bibir sumbing gratis untuk masyarakat kurang mampu. “Saya tidak ingin hanya duduk di balik meja,” ucapnya. “Saya ingin tetap merasa dekat dengan pasien, dengan mereka yang benar-benar membutuhkan.”
Jalan yang Berbeda, Tujuan yang Sama
Kini, Prof. Ruslin telah menjadi figur penting dalam dunia akademik dan kedokteran gigi di Indonesia. Dari seorang anak yang bercita-cita menjadi tentara, ia justru menemukan medan perjuangannya sendiri—bukan dengan senjata, tetapi dengan pisau bedah.
Seorang tentara bertempur di medan perang, tetapi seorang dokter bedah seperti Prof. Ruslin bertempur melawan keterbatasan, melawan rasa putus asa, melawan ketidakmampuan seseorang untuk tersenyum.
Dalam setiap jahitan yang ia buat di wajah seorang anak, ada harapan yang kembali. Dalam setiap mahasiswa yang ia didik, ada ilmu yang akan diteruskan. Dan dalam setiap keputusan akademik yang ia buat, ada masa depan yang ia bentuk.
Mungkin, ia tidak pernah menjadi tentara. Tetapi, seperti yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya, tidak semua perjuangan membutuhkan seragam dan senjata. Beberapa hanya membutuhkan keahlian, ketulusan, dan sepasang tangan yang siap bekerja.
Sebagaimana kata Bunda Theresa, “Tidak semua dari kita bisa melakukan hal-hal besar. Tetapi kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” Atau seperti Nelson Mandela pernah berkata, “Apa yang dilakukan dalam hidup kita mungkin tampak kecil, tetapi bagi seseorang, itu bisa menjadi perbedaan antara harapan dan keputusasaan.”
Prof. Ruslin telah memilih jalannya. Mungkin bukan sebagai tentara yang ia bayangkan semasa kecil. Tetapi dalam setiap operasi yang ia lakukan, dalam setiap mahasiswa yang ia bimbing, ia tetap seorang pejuang—seorang yang mengubah dunia, satu senyuman dalam satu waktu.