Saintek
Unhas Speak Up

Kemarau Basah: Fenomena Anomali Iklim yang Bisa Picu Gagal Panen dan Wabah DBD

MAKASSAR, UNHAS.TV – Hujan deras yang mengguyur berbagai wilayah Indonesia di tengah musim kemarau belakangan ini menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Fenomena ini bukan sekadar gangguan cuaca sesaat, melainkan bagian dari pola iklim yang dikenal sebagai kemarau basah.

Dosen Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin, Andika SSi MSi menegaskan bahwa kemarau basah bukanlah hal baru dan kini justru makin sering terjadi.

“Fenomena kemarau basah itu adalah fenomena yang umum terjadi, bukan hal langka. Dan salah satu cara beradaptasi adalah dengan melek informasi cuaca dan iklim,” ujarnya.

Kemarau basah merujuk pada periode musim kemarau yang umumnya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan ini kondisi tetap diiringi curah hujan tinggi di atas normal.

Secara klimatologis, kata Andika, wilayah yang menerima curah hujan lebih dari 40 milimeter selama musim kemarau bisa dikategorikan mengalami kemarau basah, meski standar tersebut dapat berbeda di tiap wilayah.

“Indikator utamanya adalah intensitas curah hujan. Jika selama musim kemarau curah hujan di atas angka normal wilayah tersebut, maka bisa disebut kemarau basah. Namun angka 40 mm itu bukan paten karena standar tiap wilayah berbeda,” jelas Andika.

Menurutnya, munculnya fenomena kemarau basah berkaitan erat dengan dinamika atmosfer global seperti ENSO (El Niño-Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole), dan MJO (Madden-Julian Oscillation).

Ketika terjadi La Niña atau IOD negatif, massa udara lembap dari laut tropis mendorong peningkatan penguapan dan pembentukan awan konveksi, yang pada akhirnya menyebabkan hujan deras meskipun musim kemarau tengah berlangsung.

“Saat terjadi La Niña, angin pasat lebih kuat mendorong massa air laut hangat ke Indonesia, meningkatkan penguapan dan membentuk awan konveksi penyebab hujan,” tambahnya.

Andika juga menekankan bahwa efek kemarau basah bukan hanya pada perubahan pola cuaca, tetapi juga berdampak nyata pada berbagai sektor kehidupan, terutama pertanian dan kesehatan masyarakat.

Pada sektor pertanian, hujan di musim kemarau menyebabkan kelembapan tanah meningkat secara tidak wajar, yang sangat merugikan tanaman tertentu.

“Sektor yang paling terdampak tentu pertanian. Beberapa komoditas seperti bawang tidak menyukai tanah terlalu lembab karena memicu pertumbuhan jamur dan penyakit, bahkan bisa menyebabkan gagal panen,” jelasnya.

Sementara itu, pada sektor kesehatan, kemarau basah berkontribusi pada meningkatnya ancaman penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD).

Genangan air yang muncul akibat hujan di musim kemarau memberikan ruang ideal bagi nyamuk berkembang biak.

“Genangan air yang lebih banyak akibat hujan di musim kemarau membuat telur nyamuk lebih mudah berkembang. Ini membuat ancaman penyakit seperti DBD bisa terjadi sepanjang tahun, bukan hanya saat musim hujan,” ungkap Andika.

Ia juga menjelaskan bahwa kompleksitas dinamika iklim di Indonesia sangat tinggi karena wilayah ini berada di sekitar ekuator. Ini membuat Indonesia rentan terhadap pengaruh berbagai fenomena atmosfer tropis global.

Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman yang lebih dalam dan ilmiah terhadap kondisi iklim, agar masyarakat tidak hanya bergantung pada prediksi cuaca harian.

“Karena posisi Indonesia di ekuator, kita terlibat dalam banyak fenomena atmosfer tropis yang sangat kompleks. Oleh karena itu, penting bagi kita memahami pola cuaca dan iklim secara ilmiah, bukan hanya berdasarkan perkiraan harian,” tegasnya.

Dalam menghadapi tantangan ini, Andika menekankan pentingnya edukasi iklim yang berbasiskan data. Ia mendorong masyarakat dan pemerintah untuk aktif memantau data dari BMKG dan menggunakan informasi klimatologis dalam perencanaan, baik itu di sektor pertanian, kesehatan, hingga mitigasi bencana.

“Kita tidak bisa mengontrol cuaca, tapi kita bisa meminimalkan dampaknya dengan kesiapsiagaan dan pemahaman yang baik,” ujarnya.

“Kita butuh data klimatologi setiap wilayah untuk bisa memvonis bahwa suatu wilayah sedang mengalami kemarau basah atau tidak. Edukasi berbasis data sangat penting untuk itu,” tutupnya.

Dengan fenomena kemarau basah yang makin umum, masyarakat dan para pembuat kebijakan dituntut untuk tidak hanya bersikap reaktif, tetapi juga proaktif dalam membaca dinamika iklim yang terus berubah.

Adaptasi dan perencanaan berbasis data menjadi kunci dalam menghadapi cuaca ekstrem yang kian sulit diprediksi.

(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)