Polhum
Unhas Story

Pemecah Batu, Mr Clean, dan Jalan Takdir Andi Amran Sulaiman





Jean-Jacques Rousseau pernah berkata, "Man is born free, and everywhere he is in chains." Dalam konteks Amran, kebebasan bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang bangsa. Indonesia akan tetap "terbelenggu" jika tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Oleh karena itu, ia ingin melepaskan rantai ketergantungan itu.

Ini bukan mimpi kosong. Ia berusaha membangun kebijakan yang mengarah ke sana. Dia melakukan: (1) Investasi besar-besaran di sektor pertanian, (2) Memperluas lahan produktif, (3) Mendukung petani dengan teknologi dan infrastruktur, (4) Memutus rantai kartel pangan.

Ia tahu, selama mafia mengendalikan distribusi, petani tetap miskin dan rakyat tetap bergantung pada impor. Maka, ia berperang.

Dapatkah Ia Memecahkan Batu Politik?

Kini, namanya disebut-sebut dalam bursa calon pemimpin negeri. Orang-orang bertanya, apakah ia layak? Apakah seorang yang lahir dari kemiskinan, yang pernah bekerja memecah batu, pantas untuk duduk di kursi kekuasaan?

BACA: Nuhayati Rahman dalam Kesunyian La Galigo

Mungkin, pertanyaan yang lebih penting bukanlah apakah ia pantas, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, masih bisa percaya bahwa seseorang yang memahami kerja keras lebih dari sekadar slogan politik bisa membawa perubahan?

Kita sering kecewa dengan para pemimpin. Terlalu banyak janji yang diucapkan tanpa keyakinan. Terlalu banyak rencana yang dibuat hanya untuk dibatalkan.

Amran, dengan segala rekam jejaknya, menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia bukan orator ulung yang bisa membuat rakyat terpana dengan kata-kata indah. Ia lebih mirip seorang pekerja keras yang tidak banyak bicara tetapi terus bekerja.

Namun, politik tidak seperti bisnis. Politik bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang persepsi. Seseorang bisa memiliki segudang prestasi, tetapi tetap kalah oleh mereka yang lebih piawai dalam merangkai kata-kata.

Amran pernah memukul batu berkali-kali, dan batu itu tidak langsung hancur. Ia tahu, segala sesuatu butuh waktu. Dan seperti batu yang terus ia hantam di masa kecilnya, mungkin kini ia sedang menghadapi batu lain—lebih besar, lebih keras. Batu bernama politik.

Dan pertanyaannya adalah: apakah kali ini ia bisa memecahkannya?


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat