Oleh: Yusran Darmawan*
LEBIH separuh usianya dihabiskan untuk menyelami samudera hikmah dalam naskah-naskah kuno I La Galigo. Dia tak sekadar menerjemahkan, tetapi juga menghadirkan dengung di kepala setiap orang yang mengingatkan pesan-pesan masa silam.
Di Studio Unhas TV, Sabtu (22/2/2025), dia akan meluncurkan tiga buku, yang merupakan buah dari penjelajahannya memahami teks masa silam, lalu melihat relevansinya di masa kini.
Dia, Profesor Nurhayati Rahman.
***
DI atas panggung yang luas dan temaram, para aktor menari dalam gerak yang nyaris mistis. Suara gendang dan kecapi berpadu dengan vokal yang melantunkan syair dari masa silam. Di Amsterdam, di New York, di Esplanade Singapura, bahkan di kota-kota yang tak pernah mendengar nama Sulawesi sebelumnya, orang-orang duduk terkesima menyaksikan "I La Galigo."
La Galigo, disebut-sebut sebagai naskah terpanjang di dunia, mengalahkan Mahabharata. Kisahnya adalah perjalanan Sawerigading mengarungi tujuh samudera demi menemukah kekasihnya W Cudaiq.
Kisah perjalanan Sawerigading mengingatkan pada naskah Odysseus yang ditulis Homerus di Yunani sana. Tetapi Sawerigading lahir dari rahim Bugis kuno, dari sebuah peradaban yang sudah mengenal aksara sebagai penanda peradaban tinggi, di mana nenek moyangnya adalah dewa-dewa yang turun dari langit.
BACA: Pakar Kajian La Galigo Segera Luncurkan Memoar
Tetapi pertunjukan teater ini tidak lahir begitu saja. Sebelum panggung dan lampu sorot, ada kesunyian seorang pembaca. Ada tangan yang membuka lembaran lontar, menelusuri aksara yang nyaris pudar, mencari kembali nyawa dalam kata-kata yang telah berabad-abad tertidur.
Tanpa mereka, La Galigo tak lebih dari naskah bisu, sejarah yang perlahan-lahan dilupakan.
Di antara nama-nama yang bertahan di garis depan penelitian La Galigo, ada seorang perempuan yang sejak muda telah memilih jalan sunyi: Prof. Dr. Nurhayati Rahman. Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 29 Desember 1957, ia menyerap akar budaya Bugis yang kelak menjadi fondasi bagi kerja-kerja intelektualnya.
Minatnya pada filologi tumbuh saat ia menempuh studi di Universitas Hasanuddin, Makassar, di bawah bimbingan Prof. Mattulada. Demi memperluas pengetahuannya, ia melanjutkan studi magister dan doktor di Universitas Indonesia. Bahkan dia berangkat ke Belanda untuk menelusuri naskah-naskah La Galigo yang tersimpan di Leiden.

Filologi, bagi Nurhayati, bukan sekadar ilmu tentang teks kuno. Ia adalah percakapan dengan masa lalu, upaya untuk memahami bagaimana manusia dahulu memaknai hidup, cinta, dan kematian.
Dalam naskah-naskah La Galigo, ia menemukan bukan hanya kisah-kisah heroik, tetapi juga jejak pemikiran, nilai-nilai, dan kebudayaan yang telah membentuk identitas sebuah bangsa. Ia membaca bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati—mendengar kembali suara para leluhur yang tertulis dalam aksara yang kadang telah kabur.
Meneliti La Galigo bukanlah pekerjaan yang mudah. Naskah-naskah ini tidak tersusun seperti kitab sejarah atau novel dengan alur yang linier. Ia adalah serpihan cerita, kisah yang melompat-lompat, terjalin dalam bahasa Bugis kuno yang bagi kebanyakan orang adalah enigma. Dibutuhkan kesabaran dan ketelitian luar biasa untuk menyusunnya kembali, memahami setiap makna yang tersirat dalam bait-baitnya, dan yang lebih penting, menghidupkan kembali dunia yang pernah diceritakannya.