MAKASSAR, UNHAS.TV - Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, sekaligus pakar kajian La Galigo, Prof Nurhayati Rahman, dalam waktu dekat akan meluncurkan memoar. Rencananya, memoar ini akan merangkum semua ingatan dan perjalanan kariernya sejak usia belia hingga kini.
Yang menarik, memoar ini berisikan kepingan-kepingan informasi yang dibagikannya melalui media sosial. Nurhayati menggunakan ingatan fotografis untuk merekonstruksi masa kecilnya, masa tumbuh kembang, hingga pengalamannya belajar di Unhas,
“Sejak tahun 2001, saya rajin menulis di Facebook. Saya menikmati ruang interaksi virtual di situ. Catatan saya cukup banyak. Sayangnya, di tahun 2011, Facebook saya di-hack. Banyak catatan yang hilang,”kata Prof Nurhayati Rahman kepada Unhas.TV di Makassar, (9/9/2024).
Nurhayati menampik jika catatannya disebut biografi ataupun autobiografi. “Ini hanya mozaik-mozaik ingatan. Saya tulis di waktu senggang, di sela-sela tugas mengajar, membimbing mahasiswa, dan ikut konferensi internasional,”ujarnya.
Yang menarik, memoar atau catatan itu punya alur dan substansi yang kuat. Tak sekadar berisi catatan pengalaman, tapi terhampar dialog-dialog yang mempertanyakan ulang tentang realitas sosial, serta bagaimana posisi Nurhayati di tengah tradisi dan arus modernisasi yang sedang mekar di Sulawesi Selatan.
Bagian paling menyentuh adalah saat Nurhayati membahas kenangan tentang ayahnya, Anregurutta Kiai Haji Abdul Rahman Matammeng, salah seorang ulama besar Sulawesi Selatan yang menimba ilmu di Pulau Salemo dan Mangkoso, di bawah bimbingan Gurutta Ambo Dalle.
Ayahnya belajar Islam dengan latar tradisi yang kuat, namun menolak feodalisme. Dia melarang anaknya menggunakan gelar Andi di depan namanya. Juga menolak dipanggil Puang. “Hanya ada satu Puang, yakni Puang Allah Taála”, catat Nurhayati.
Nurhayati bercerita dengan jujur bagaimana ayahnya memutuskan bergabung dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah Kahar Mudzakkar. Catatannya seakan mengajak semua orang untuk melihat kembali berbagai peristiwa masa silam, dengan sudut pandang warga lokal, tanpa harus terjebak dengan alur sejarah mainstream.
Ada banyak hal penting yang bisa ditemukan di buku ini. Ada banyak kepingan hikmah, serta peta untuk memahami dinamika sejarah pada satu masa, serta bagaimana individu menjalani hari-hari penting republic ini, saat transformasi dari masa colonial ke masa kemerdekaan, saat tradisi dan modernitas hadir bersamaan.
Terpenting adalah kisah bagaimana Nurhayati memilih karier sebagai akademisi yag merawat tradisi dan kearifan lokal, lalu membawanya untuk naik ke pentas dunia.
“Saya berharap buku ini menjadi jendela hidup yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya,”katanya.