UNHAS TV – Di tengah riuhnya perkembangan teknologi dan digitalisasi, perempuan Indonesia membuktikan bahwa semangat R.A. Kartini bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi terus hidup sebagai inspirasi dalam menciptakan perubahan nyata.
Dialog bertajuk “Perempuan Inovator: Tantangan dan Peluang Melahirkan Inovasi di Era Digital”, yang digelar oleh Unhas.TV pada Selasa, 23 April 2025, menjadi bukti nyata bahwa inovasi tak mengenal batas gender.
Menghadirkan sosok perempuan hebat seperti Ketua Indonesia Bahrain Friendship Society Dr Yundini Husni Djamaluddin dan Direktur Inovasi dan Kekayaan Intelektual Universitas Hasanuddin (Unhas) Asmi Citra Malina SPi MAgr PhD.
Dialog ini menjadi ajang refleksi sekaligus penyemangat bagi generasi muda, khususnya perempuan, untuk terus berkarya di tengah kemajuan zaman. Dialog ini dipandu Kepala Puslitbang Kependudukan dan Gender Unhas Dr Irma Andriani SPi MSi.
Pada kesempatan itu, Yundini menegaskan bahwa warisan pemikiran Kartini masih sangat relevan, bahkan menjadi bahan bakar semangat perempuan Indonesia saat ini.
“Saya selalu membaca Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini mengajarkan bahwa tidak ada yang bisa menghalangi kemajuan seorang perempuan,” tuturnya.
Menurutnya, perempuan kini tidak hanya memainkan peran ganda—di rumah dan di luar rumah—tetapi juga memainkan peran strategis di dunia global.
“Dunia ini tidak lagi terkotak. Perempuan bisa menjadi siapa saja: inovator, pemimpin, diplomat, pengusaha, bahkan teknokrat,” tambahnya dengan penuh semangat.
Inovasi Bukan Milik Laki-laki
Hal senada disampaikan oleh Asmi Citra Malina yang menekankan bahwa perempuan bukan hanya pendukung, tetapi pelaku utama dalam dunia riset dan inovasi.
Di Unhas, menurutnya, banyak dosen dan peneliti perempuan yang menunjukkan kontribusi besar dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
“Saat ini kami memiliki 28 tentor perempuan aktif yang tidak hanya mendidik mahasiswa, tapi juga melakukan pengabdian langsung ke masyarakat. Mereka menjadi role model dan penggerak inovasi di lingkungannya,” jelas Asmi.
Ia menekankan bahwa inovasi yang dilakukan oleh perempuan seringkali menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, hingga ketahanan pangan.
“Perempuan memiliki perspektif sosial yang kuat. Itulah yang menjadikan inovasi mereka lebih berdampak langsung pada masyarakat,” ungkapnya.
Mengutip data Kementerian Riset dan Teknologi (2024), sekitar 37% peneliti di Indonesia adalah perempuan, dan angkanya terus bertumbuh.
Sementara itu, dalam Program Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia (PKMI), lebih dari 40% proposal bisnis dan teknologi yang lolos berasal dari tim yang dipimpin oleh perempuan, menandakan bahwa peran mereka dalam inovasi nasional semakin signifikan.
Selain itu, menurut survei dari McKinsey Indonesia (2023), perusahaan yang dipimpin oleh perempuan atau memiliki keterlibatan perempuan dalam manajemen strategis cenderung memiliki inovasi produk dan pendekatan pasar yang lebih inklusif dan adaptif.
Perayaan Hari Kartini tidak lagi sebatas mengenang sejarah, melainkan menjadi ajang penguatan semangat untuk menyemai perubahan yang lebih besar.
Diskusi ini menegaskan bahwa menjadi perempuan di era digital adalah tentang keberanian memimpin gagasan, menghadirkan solusi, dan menembus batasan.
“Perempuan adalah cahaya dalam perubahan. Inovasi bukan hanya soal teknologi, tapi keberanian untuk berpikir dan bertindak bagi kebaikan bersama,” pungkas Irma.
Dengan semangat Kartini, perempuan Indonesia terus melangkah—menjadi lebih kuat, lebih berdaya, dan lebih berdampak.
(Andrea Ririn Karina / Unhas.TV)