UNHAS.TV - Di balik senyum cerah seorang mahasiswa yang lalu-lalang di lorong kampus dan media sosial, ternyata ada ancaman sunyi yang kian menyusup tanpa disadari.
Namanya self-harm. Perilaku menyakiti diri sendiri ini bukan sekadar ekspresi sesaat, melainkan sinyal krisis mental yang mendalam dan membutuhkan perhatian serius.
Self-harm atau nonsuicidal self-injury (NSSI) mencakup berbagai tindakan, dari melukai kulit dengan benda tajam (cutting), menunda makan secara ekstrem, menyundut tubuh dengan api, hingga secara tidak sadar menempatkan diri dalam bahaya atau sakit.
Meski tidak selalu diiringi keinginan untuk mengakhiri hidup, self-harm kerap menjadi jalan sunyi yang ditempuh mereka yang merasa kehilangan makna, gagal, atau terbebani secara emosional.
Fenomena ini kini kian marak di kalangan remaja dan mahasiswa. Menurut laporan Kementerian Kesehatan tahun 2024, lebih dari 16% remaja usia 15–24 tahun di Indonesia mengaku pernah melakukan self-harm, dengan prevalensi lebih tinggi di wilayah perkotaan dan komunitas pendidikan tinggi.
Psikiater dari Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, dr Firdaus SpKJ menyebut bahwa gejala self-harm seringkali datang dalam pola emosi yang berulang.
"Biasanya mereka melewati fase manik, sangat aktif dan antusias, lalu turun ke fase depresi yang mendalam. Dalam kondisi ini, self-harm bisa muncul sebagai bentuk pelampiasan emosi yang tak tertahan," ujarnya saat diwawancarai di Makassar, Senin (1/7/2025).
Ia menambahkan bahwa self-harm memiliki dua bentuk, yakni pasif dan aktif. Pasif misalnya menahan lapar, tidak tidur, atau menolak perawatan medis; sedangkan bentuk aktif tampak dalam tindakan fisik seperti menyayat kulit.
"Semua bentuk ini menunjukkan kebutuhan untuk dipahami dan ditangani secara komprehensif. Konsultasi ke psikiater sangat penting agar kita tahu pendekatan yang tepat," tegasnya.
Sayangnya, perilaku ini kerap tak terdeteksi. Pelaku self-harm tidak selalu menunjukkan niat bunuh diri secara eksplisit, bahkan bisa tampak sangat “baik-baik saja” di permukaan. Di sinilah pentingnya sensitivitas dari orang terdekat.
Artikel dalam Journal of Adolescent Health (Whitlock et al., 2023) menyebut bahwa keterlibatan keluarga dan teman dalam membangun lingkungan yang suportif dapat menurunkan kecenderungan self-harm hingga 30%.
Studi ini juga menunjukkan bahwa komunikasi terbuka dan bebas stigma menjadi faktor pelindung yang paling signifikan.
Di tengah gempuran media sosial dan tekanan akademik, banyak remaja kehilangan ruang aman untuk berbicara tentang rasa sakitnya. Alih-alih didengar, mereka sering disalahkan atau dianggap “mencari perhatian.”
Padahal, seperti diungkap Dr. Firdaus, self-harm bukanlah panggilan untuk diperhatikan, tetapi teriakan sunyi dari luka yang tak bisa diucap.
“Bukan soal dramatis atau lemah. Ini tentang rasa sakit emosional yang begitu kuat, sampai tubuh harus ikut merasa sakit agar bisa sedikit lega,” jelasnya.
Langkah awal yang bisa dilakukan, kata dokter Firdaus, adalah tidak menghakimi. Tanyakan, dengarkan, dan arahkan dengan lembut ke bantuan profesional. Kampus dan sekolah juga didorong menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, bukan sekadar formalitas.
“Remaja butuh tahu bahwa mereka tak sendirian. Bahwa luka bisa sembuh, asal mereka mendapat tempat aman untuk bicara,” ucapnya.
Tanpa penanganan, self-harm dapat berkembang menjadi gangguan kejiwaan serius seperti borderline personality disorder, depresi berat, atau bahkan kecenderungan bunuh diri. Oleh karena itu, peran komunitas, keluarga, dan institusi pendidikan menjadi krusial.
Kini saatnya membuka mata: bahwa luka tak selalu berdarah, dan krisis jiwa tak selalu terlihat. Tapi jika kita peka, saling merangkul, dan tak takut bicara soal kesehatan mental, kita bisa menyelamatkan satu jiwa mungkin lebih.
(Andi Putri Najwah / Unhas.TV)