Sosial

Dari Malahayati hingga Membayangkan Dunia: Agensi Perempuan dalam Bayang-Bayang Polikrisis

Di layar Zoom yang penuh wajah-wajah penasaran dari berbagai belahan dunia, Yuyun Sri Wahyuni, Ph.D., membuka kuliahnya dengan tenang namun tegas. 

“Selamat datang di kursus ini tentang perempuan dan dinamika gender di Indonesia,” sapa dosen perempuan itu, membuka sebuah sesi akademik yang lebih menyerupai manifesto lintas peradaban ketimbang kuliah biasa.

Kuliah ini bukan sekadar diskusi kelas, melainkan bagian dari kolaborasi Sekolah Musim Panas antara Universitas Western Sydney dan Universitas Negeri Yogyakarta. 

Yuyun Sri Wahyuni adalah seorang akademisi dan aktivis feminis Islam asal Indonesia yang dikenal karena kontribusinya dalam studi gender, feminisme dekolonial, dan keadilan sosial.

Ia meraih gelar Ph.D. dalam Global Gender Studies dari University at Buffalo, State University of New York, dengan dukungan beasiswa Fulbright dari DIKTI. Kini, ia menjadi pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).


Hari itu, yang dibahas Yuyun bukan sekadar gender atau lingkungan secara terpisah, tetapi keterkaitannya yang kompleks dalam lanskap sosial-politik Indonesia.

Di sinilah interseksionalitas menemukan bentuk paling hidupnya: ketika agama, adat, ekologi, dan kapitalisme global bersinggungan dalam tubuh dan kehidupan perempuan Indonesia.

Mengapa Indonesia?

Pertanyaan itu langsung diajukan Yuyun di awal sesi. Mengapa memilih Indonesia sebagai studi kasus untuk memahami gender dalam pusaran krisis global? 

Jawabannya justru karena Indonesia adalah simpul dari banyak kontradiksi dunia kontemporer: sebuah negeri yang di satu sisi sarat akan kekayaan budaya, spiritualitas, dan tradisi lokal yang plural, namun di sisi lain dibentuk dan dikungkung oleh jejak kolonialisme, gelombang neoliberalisme, populisme religius, dan kebijakan pembangunan yang sering mengabaikan kerentanan perempuan.

“Indonesia adalah miniatur kompleksitas global,” kata Yuyun. Di sinilah, menurutnya, kita bisa melihat bagaimana gender bukan hanya soal relasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga berkelindan dengan kekuasaan, kepercayaan, sejarah, dan ekonomi global. 

Dalam kerangka ini, studi tentang perempuan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bagaimana tatanan global—dari kolonialisme Eropa hingga logika pasar bebas hari ini—turut memformat kehidupan sehari-hari perempuan lokal, bahkan sampai ke tubuh dan spiritualitas mereka.

“Perempuan di Indonesia punya sejarah panjang agensi,” tegas Yuyun. Sebuah sejarah yang kerap dikubur oleh narasi modernisasi dan dikerdilkan oleh anggapan patriarkal yang seolah universal.

Ia mengingatkan bahwa sebelum kolonialisme mencengkeram Nusantara, banyak komunitas lokal mengenal struktur sosial yang relatif egaliter. Di wilayah-wilayah pesisir maupun pedalaman, perempuan tidak hanya berperan di ranah domestik, tapi juga tampil sebagai pedagang, tabib, pemimpin upacara, bahkan pemegang otoritas politik.

Nama Laksamana Malahayati pun disebut—sosok legendaris dari Aceh yang menjadi lambang kekuatan perempuan dalam ranah militer. Ia memimpin “Inong Balee”, pasukan janda-janda pejuang yang bertempur melawan armada Portugis dan Belanda pada akhir abad ke-16.

“Ia bukan hanya pahlawan perempuan,” ujar Yuyun, “tapi juga bukti historis bahwa perempuan Nusantara tidak selalu terpinggirkan dalam sejarah.”

Namun semua itu mulai berubah ketika kolonialisme datang, membawa serta sistem hukum yang maskulin, pendidikan yang menjinakkan perempuan, serta birokrasi yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek pengaturan.

Yuyun mencatat, perubahan itu tidak hanya berlangsung dalam tataran kebijakan negara kolonial, tapi juga dalam pembentukan tafsir agama yang lebih patriarkal, sebagai hasil negosiasi antara elite lokal dan penguasa asing. Tafsir-tafsir inilah yang kemudian diwarisi dan diperkuat dalam banyak kebijakan negara pascakemerdekaan.


>> Baca Selanjutnya