
Yuyun Sri Wahyuni, PhD
Dengan latar seperti itu, Indonesia bukan hanya tempat belajar tentang perempuan dan gender, tapi juga arena penting untuk mengkritisi wacana global tentang pembangunan dan keberlanjutan. “Indonesia mengajarkan kita,” pungkas Yuyun, “bahwa agensi perempuan tidak mati oleh sejarah. Ia hanya menunggu untuk digali kembali dan diberi ruang berbicara.”
Dari Data ke Realitas
Indonesia kini mencatat beberapa kemajuan dalam indeks ketimpangan gender. Yuyun menyebut, hanya 30% profesional di bidang STEM adalah perempuan, sementara rata-rata penghasilan perempuan masih 23% lebih rendah dibanding pria untuk pekerjaan yang setara. Bahkan, satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan berbasis gender.
“Ketika kita bicara tentang pembangunan berkelanjutan, kita harus berhenti mengandalkan data mentah. Kita harus memahami lanskap lokal, sejarah, dan narasi tubuh perempuan,” tegasnya.
Untuk itulah Yuyun mengembangkan kerangka teori yang ia sebut Decolonial Transnational Islamic Feminism (DTIF). Bukan sekadar teori, DTIF adalah kritik tajam terhadap feminisme Barat yang sering menyamaratakan pengalaman perempuan di seluruh dunia, terutama perempuan Muslim.
DTIF membongkar akar kolonial dalam epistemologi feminisme global dan mengusulkan jalan baru: solidaritas transnasional yang berakar pada keadilan, spiritualitas, dan martabat bersama.
DTIF menantang logika dominan yang menganggap bahwa pemberdayaan perempuan harus selalu mengikuti pola universal ala Barat—yang cenderung sekuler, liberal, dan berorientasi pada pasar.
Sebaliknya, DTIF menekankan pentingnya mengakui konteks lokal, spiritualitas komunitas, serta nilai-nilai budaya yang selama ini sering diabaikan dalam analisis feminis arus utama.
Di bawah kerangka ini, perempuan Muslim tidak lagi ditempatkan sebagai objek yang harus diselamatkan, melainkan sebagai subjek yang mampu menafsirkan ulang peran, nilai, dan struktur kekuasaan secara aktif.
Lebih dari sekadar kritik, DTIF juga menawarkan visi politik baru: membangun aliansi lintas batas yang menjunjung etika kolektif, memperkuat solidaritas global Selatan-Selatan, serta menghidupkan kembali epistemologi feminis yang berakar dari pengalaman perempuan adat dan komunitas keagamaan.
DTIF menjadi jembatan antara teori dan praksis, antara kampus dan akar rumput, antara spiritualitas dan keadilan sosial.
Ketika Fatwa Menjadi Perlawanan
Salah satu contoh nyata intervensi ini adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Di bawah bendera ini, para ulama perempuan menerbitkan fatwa yang tidak hanya menolak perkawinan anak dan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga mencela kerusakan lingkungan sebagai dosa moral dan spiritual.
“Mereka tidak hanya merebut kembali otoritas penafsiran Islam, tapi juga melatih generasi perempuan muda menjadi pemimpin komunitas,” kata Yuyun.
Di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, para petani perempuan menolak keras penambangan semen yang mengancam tanah dan air mereka. Aksi duduk menyemen kaki mereka menjadi ikon perlawanan yang mengguncang.
Mereka menyebutnya sebagai panggilan dari Ibu Bumi. “Ibu sudah memberi, Ibu sedang bersuara, dan Ibu akan murka bila dilukai,” demikian salah satu slogan yang menggetarkan.
Batik, Ekonomi, dan Perlawanan Hening
Di sisi lain Jawa, di daerah seperti Progo dan Kotagede, perempuan juga memainkan peran vital dalam ekonomi lokal lewat industri batik. Mereka bukan sekadar perajin, tapi juga pemimpin spiritual, pengasuh keluarga, dan penjaga warisan.
Bengkel batik mereka bukan hanya ruang produksi, tapi juga tempat transmisi pengetahuan, nilai, dan solidaritas antargenerasi. Di sanalah berlangsung pendidikan informal yang tidak hanya mengajarkan teknik membatik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab sosial, estetika budaya, dan kebanggaan identitas lokal.
Perempuan-perempuan pembatik ini juga menjadi penggerak ekonomi keluarga dan komunitas. Mereka menciptakan jaringan pemasaran sendiri, berinovasi dalam motif dan teknik, bahkan menyuarakan isu-isu lingkungan lewat batik yang menggunakan pewarna alami.
Di banyak tempat, bengkel batik menjadi ruang politik senyap: tempat perempuan berdiskusi, merawat solidaritas, hingga membangun gerakan mikro yang bertolak dari keseharian mereka.