Sosial

Dari Malahayati hingga Membayangkan Dunia: Agensi Perempuan dalam Bayang-Bayang Polikrisis




Namun seperti banyak sektor informal lainnya, kerja mereka kerap tak diakui negara. Tak ada jaminan sosial, tidak ada akses pembiayaan memadai, dan sangat sedikit yang dilibatkan dalam penyusunan kebijakan industri kreatif. “Di sinilah letak paradoks: perempuan menopang ekonomi, tapi tidak diakui dalam peta kebijakan,” ujar Yuyun.

Padahal, mereka bukan sekadar pengrajin ekonomi. Mereka adalah penjaga nilai, pelanjut tradisi, sekaligus aktor transformasi kultural yang menjahit antara warisan dan masa depan.

Politik Narasi dan Masa Depan yang Diimpikan

Yuyun juga menyinggung proyek kolektif menulis buku bersama 13 perempuan Indonesia yang sedang menempuh studi doktoral di luar negeri. Buku itu, yang akan terbit tahun ini, menjadi wadah untuk menuturkan kembali pengalaman mereka: melawan naskah sosial yang kaku, menulis ulang makna kewanitaan, keibuan, dan keilmuan.

Melalui tulisan-tulisan reflektif dan otobiografis, para penulisnya membongkar berbagai batasan yang dikonstruksi oleh budaya, agama, dan sistem akademik patriarkal, sembari merancang ulang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi cendekia, ibu, warga, sekaligus agen perubahan.

Narasi dalam buku ini bukan hanya kesaksian personal, melainkan juga bentuk politik representasi yang membongkar asumsi bahwa perempuan Muslim Indonesia adalah pihak yang pasif dan terbelakang.

Sebaliknya, mereka tampil sebagai pemikir lintas budaya yang tidak hanya menafsirkan ulang dirinya sendiri, tetapi juga menantang cara dunia memandang Timur, Islam, dan perempuan.

Narasi-narasi seperti ini, menurut Yuyun, adalah bagian dari agensi politik perempuan. “Keadilan gender tidak akan datang dari kebijakan semata. Ia butuh suara, cerita, dan ingatan.”

Buku itu, katanya, menjadi semacam “kitab kecil” tentang perlawanan yang hening tapi dahsyat—perlawanan yang dimulai dari pena, dari ruang baca, dari pengalaman tubuh, dan dari kemauan untuk menyuarakan kembali dunia dengan bahasa sendiri.

Membayangkan Ulang Dunia

Di akhir kuliahnya, Yuyun menantang para peserta dengan sejumlah pertanyaan kontemplatif: Bagaimana feminisme Indonesia dapat membongkar logika pembangunan global yang eksploitatif? Bagaimana merumuskan keberlanjutan yang berpihak pada komunitas adat, spiritualitas lokal, dan ekologi?

Ia mengajak untuk membayangkan feminisme yang tak hanya bersuara dalam seminar-seminar atau laporan kebijakan, tetapi juga hidup dalam kehidupan sehari-hari: dalam ladang yang dipertahankan dari tambang, dalam doa yang dibacakan perempuan, dalam naskah akademik yang ditulis dengan tubuh dan emosi.

“Di tengah polikrisis—kerusakan iklim, populisme, neoliberalisme, dan erosi demokrasi—perempuan Indonesia tidak tinggal diam. Mereka tidak sekadar bertahan. Mereka bergerak, menafsir ulang, dan membangun masa depan,” kata Yuyun.

Masa depan itu, lanjutnya, tak bisa dibangun hanya dari angka dan target global. Ia harus dibangun dari empati dan keterhubungan, dari keberanian menolak lupa dan keberanian untuk bermimpi.

Masa depan itu harus disulam dari narasi-narasi yang selama ini dibungkam, dari suara yang selama ini dianggap minor, dan dari pengetahuan yang lahir dari luka, cinta, dan iman.