Opini

Luka Tak Terlihat dari Perang

Oleh: Mashuri Mashar*

Hubungan Iran dan Israel itu seperti cerita suspens-komedi yang tak pernah usai. Bayangkan: dulu mereka begitu dekat hingga rela berbagi sumber daya—minyak dan teknologi militer.

Bak sahabat lama. Iran memasok 70% kebutuhan energi Israel (1960–1970), sementara Israel melatih tentara Iran (SAVAK/dinas rahasia Iran) agar jadi lebih “siap” ke depannya. Manis, bukan? Tapi lalu datang Revolusi Islam 1979, Ayatollah Khomeini naik panggung, dan ujug-ujug Israel jadi “musuh abadi”.

Sejak itu, hubungan mereka laiknya kereta mainan pemicu adrenalin rusak—penuh tikungan tajam, bikin mual, dan mengancam nyawa. Puncaknya? Perang Iran–Israel selama 12 hari pada Juni 2025.

Berawal dari serangan Hamas, dibalas Israel dengan menghantam fasilitas nuklir Iran. Dampaknya tak melulu soal ideologi dan politik—ada luka nyata meski tak terlihat. Tengoklah persoalan kesehatan masyarakat: kematian, rumah sakit ambruk, trauma psikologis membekas, bahkan penyakit menular yang mengintai.

Terlepas dari segala pertimbangan ideologi, politik, dan agama, konflik berdarah ini menyisakan mimpi buruk dalam dunia kesehatan masyarakat.

Sejarah Iran dan Israel memang penuh kontras yang nyaris lucu jika tak ingin disebut tragis. Dimulai tahun 1947, saat Iran menolak rencana melepaskan Palestina dari Perserikatan Bangsa-Bangsa—penanda awal keretakan mereka. Tapi belakangan, tahun 1950, Iran mengakui Israel.

Ini jadi babak baru kerja sama ekonomi dan militer yang mesra. Seperti kereta mainan, hubungan mereka kemudian menukik tajam ke bawah. Tahun 1979 jadi titik balik: Revolusi Islam menggulingkan Shah, dan Israel jadi “setan besar” di mata Teheran.

Ketegangan mencapai titik kulminasi di 1990-an (pasca-Perang Dingin), dan makin keruh dengan lahirnya “Poros Perlawanan” yang dipelopori Iran pada 2000-an. Isinya: organisasi paramiliter dari berbagai negara di Timur Tengah—Hamas dari Palestina, Hizbullah di Lebanon, milisi Houthi dari Yaman, serta kelompok bersenjata dari Irak dan Suriah.

Sejak itu, guncangan perlawanan makin membesar. Seperti bisul menjelang infeksi, momentum meledak dalam perang 12 hari Iran vs Israel. Sekali lagi, saya tidak sedang bicara soal senjata canggih, tapi soal nyawa dan kesejahteraan yang jadi taruhan dalam permainan geopolitik—yang bisa jadi sia-sia.

Luka yang Tertinggal

Perang Iran–Israel jadi babak duka yang sulit terhapus di pertengahan 2025. Dimulai dari serangan udara dan operasi intelijen bersandi “Rising Lion”, sangkakala perang ditiup Israel melawan “Axis of Resistance”.

Akibatnya bisa ditebak. Di Iran, Kementerian Kesehatan mencatat 627 orang tewas—86,1% meninggal seketika di lokasi serangan. Ada 4.870 orang luka-luka, termasuk 13 anak, yang termuda hanya bayi dua bulan. Bayi! Belum sempat menangis minta susu, sudah jadi korban perang yang tak bersalah. Tak mau ketinggalan, Iran pun membalas.

Di Israel, 28 nyawa melayang—lebih sedikit, tapi tetap menyakitkan. Lebih dari 1.000 orang terluka, 2.238 dirawat di rumah sakit: 23 luka parah, 111 luka sedang, sisanya ringan. Belum lagi 1.880 orang yang panik berat, takut keluar bunker, mungkin sambil berpikir, “Ini akhir dunia atau cuma simulasi perang?”

Contoh nyata yang bikin sakit perut. Bukan karena salah makan, tapi karena asupan informasi ke otak bisa bikin mual. Misalnya, di Teheran, sebuah keluarga kehilangan rumah dan dua anaknya dalam semalam—bom tak peduli siapa yang tidur di dalam.

Di Israel, seorang ibu di Beersheba tak bisa tidur karena sirene rudal; anaknya yang autis jadi tak terkendali. Perang 12 Hari ini membuktikan: kesehatan masyarakat-lah yang jadi tumbal dari dua negara yang bertikai.

Entah itu luka fisik, atau sistem kesehatan yang luluh lantak. Statistik memang dingin, tapi cerita di baliknya? Membakar hati, menguras air mata.

Rumah Sakit Berubah Rumah Duka

Perang punya cara membunuh harapan. Di Iran, serangan Israel meratakan tujuh rumah sakit dan sembilan ambulans—alih-alih jadi tempat dan kendaraan penyelamat nyawa, malah jadi tempat meregang nyawa.


>> Baca Selanjutnya