Oleh: Yusran Darmawan*
Di Sulawesi Tenggara, orang Bugis selama sekian tahun lebih banyak mengurusi bisnis dan pendidikan. Mereka tidak berniat masuk ranah politik. Namun saat etnis mereka selalu disebut-sebut sebagai pendatang, maka kesadaran politik menyala. Macan tidur itu kini bangkit dan menang.
***
PRIA itu duduk di satu warkop di kota Baubau. Namanya La Guntur. Dia sering nongkrong di warkop dengan banyak anak muda yang berkecimpung di dunia politik. Saat saya tanya siapa yang akan jadi pemenang pilkada sultra, dia tanpa ragu menyebut Andi Sumangerukka (ASR). Kenapa?
“Saya ketemu orang di Lande sana. Dia bilang, bagaimana kita tidak pilih ASR, berasnya sudah sampai di leher,” katanya.
Selama beberapa bulan ini, tim ASR cukup massif bergerak di kepulauan. Andi Sumangerukka berlatar militer. Dia jenderal bintang dua. Namun, dia juga dikenal sebagai pengusaha tambang yang cukup sukses.
Berkat pundi-pundi dari tambang, dia senang berderma. Dia banyak berbagi rezeki, memberangkatkan umroh, dan menghadirkan ambulans. Dia juga sering berbagi beras.
Mulanya, dia tidak terlalu dihitung oleh para pemain politik Sultra. Dia belum teruji di lapangan politik. Bahkan PPP, partai yang dipimpinnya, tidak begitu sukses. Ditambah lagi, sebagian politisi Sultra menganggapnya sebagai pendatang yang tidak punya basis.
Tadinya Sultra adalah kabupaten di Sulawesi Selatan. Tahun 1964 dimekarkan menjadi provinsi sendiri, dan memiliki empat kabupaten: Buton, Muna, Kolaka, dan Kendari.
Empat wilayah ini dianggap sebagai pilar terbentuknya Sultra. Kini, dalam pemetaan geopolitik, empat wilayah ini direpresentasikan sebagai daratan (Kendari dan Kolaka), serta kepulauan (Buton dan Muna). Pemimpin daerah pun silih berganti.
Lantas, apa penjelasan dari melejitnya ASR hingga jadi pemenang pilkada Sultra? Mari kita amati setiap kepingan informasi dan menautkannya menjadi satu mozaik.
Pertama, momentum. ASR datang di saat yang tepat. Sejak era pemilihan langsung, para pemimpin di Sulawesi Tenggara silih berganti. Menimbang faktor geopolitik yakni daratan dan kepulauan, maka pemimpinnya pun bergiliran di dua wilayah itu.
Harusnya, tahun ini pemimpin berasal dari wilayah daratan. Apa daya, dari pihak daratan, khususnya etnis Tolaki, ada tiga yang maju sebagai calon gubernur. Mereka sama-sama merasa kuat. Yang paling kuat di situ adalah Tina Nur Alam.
Masalahnya adalah kapasitas Tina dipertanyakan. Pengalamannya adalah sebagai istri gubernur dan anggota DPR RI. Dia tidak pernah memimpin partai politik.
Dia figur yang tenggelam di balik bayang-bayang suaminya. Banyak yang mempertanyakan kemampuannya. Di awal-awal kampanye, malah Nur Alam yang lebih banyak orasi. Jika kelak terpilih, bisa jadi Nur Alam yang akan dominan.
Tina berhadapan dengan Lukman Abunawas, mantan bupati dan wakil gubernur. kandidat lainnya adalah Ruksamin, mantan Bupati. Lukman dan Ruksamin sama-sama punya kapasitas lebih baik dari Tina, tetapi mereka kalah isi tas dari Nur Alam.
Kedua faktor etnik. Dengan majunya tiga kandidat dari daratan, mereka berbagi ceruk yang sama. Tentunya, jika suara daratan terbagi, maka raup suara sebanyak mungkin di kepulauan. Nah, di Sultra, ada isu-isu etnik yang belum selesai. Warga kepulauan dan warga daratan memang berada di bawah payung yang sama, namun ada sentimen etnik yang cukup kuat di antara mereka, sehingga kadang susah membaur.