Oleh Ahmad M. Sewang*
Saya pernah bermukim di dunia Islam Barat selama setahun penuh, tepatnya dari 9 Agustus 1993 hingga 11 Agustus 1994, di negeri "Kincir Angin," Belanda. Suasana menyambut Ramadan di sana sangat berbeda dengan di Indonesia, sebagaimana telah saya tulis sebelumnya. Terlebih lagi, saya tinggal di sebuah apartemen yang penghuninya berasal dari berbagai negara non-Muslim, seperti Spanyol, Denmark, dan Tiongkok, yang tentu saja tidak merasakan suasana Ramadan.
Informasi tentang Ramadan di Indonesia hanya bisa saya peroleh melalui surat kabar yang tersedia di Perpustakaan KITLV. Pernah suatu kali, saya terlambat sehari memulai puasa karena mengikuti sidang isbat dari Indonesia melalui surat kabar, padahal di Belanda puasa sudah dimulai sehari sebelumnya.
Peristiwa itu membawa saya berkenalan dengan Ketua ICMI Cabang Eropa, Nafham Sbhan. Dari beliaulah saya mendapatkan hadiah berupa perangkat lunak (software) yang dapat menghitung pergerakan bulan dalam satu tahun. Dengan perangkat ini, awal Ramadan dapat diketahui dengan mudah hanya dengan melihat kalender astronomi yang tersedia. Bahkan, berbagai fenomena langit, seperti gerhana bulan dan gerhana matahari, sudah dapat diprediksi hingga ratusan tahun ke depan. Saya membawa perangkat lunak ini ke Makassar ketika pulang di Belanda dan membagikannya kepada teman-teman. Saya yakin, saat ini software tersebut sudah berkembang dengan versi yang lebih canggih.