Opini

Perbedaan Penentuan Awal Ramadan antara Dunia Islam Barat dan Timur



Negara yang mengumumkan Sabtu atau Minggu sebagai hari pertama Ramadhan 2025. Credit:النصر الإخباري
Negara yang mengumumkan Sabtu atau Minggu sebagai hari pertama Ramadhan 2025. Credit:النصر الإخباري


Perbedaan Metode Penentuan Awal Ramadan

Dunia Islam pada dasarnya terbagi dalam dua pendekatan dalam menentukan awal Ramadan.

  1. Metode Hisab, yang umumnya digunakan di dunia Islam Barat, termasuk oleh Muhammadiyah di Indonesia. Sudah bisa ditentukan jauh sebelumnya bahkan ratusan tahun seperti gerhana bulan atau matahari.
  2. Metode Rukyat, yang dianut oleh dunia Islam timur, misalnya yang tergabung dalam MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Karena harus dirukyat dengan kasat mata, maka baru bisa ditentukan pada malam itu di saat-saat terakhir.

Lalu, metode mana yang seharusnya diperpegangi? Setiap pendekatan memiliki dasar yang kuat. Para ulama sepakat bahwa awal Ramadan harus ditentukan melalui rukyatul hilal (melihat bulan sabit). Namun, terdapat perbedaan dalam memahami konsep "melihat" ini:

Sebagian ulama menafsirkan rukyatul hilal secara literal, yaitu harus melihat dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu optik. Inilah metode yang digunakan oleh negara-negara anggota MABIMS.

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa "melihat" bulan tidak harus secara langsung, tetapi dapat diperhitungkan melalui ilmu astronomi. Inilah pandangan yang dipegang oleh Muhammadiyah serta sebagian besar negara di dunia Islam Barat.

Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan dalam menafsirkan teks agama. Menurut almarhum Syekh Yusuf al-Qaradawi, perbedaan pendapat dalam hal ini merupakan bagian dari sunnatullah dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan, beliau mengutip sebuah kaidah:

"Barang siapa yang menginginkan bahwa kita lebih baik semuanya memiliki pendapat yang sama dalam segala hal, maka itu sesuatu yang mustahil terjadi dalam realitas, karena bertentangan dengan sunnatullah."

Maka, perbedaan ini seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan bagian dari keragaman dalam beribadah yang tetap berada dalam koridor syariat. Terserah metode apa yang lebih diyakini menurut kecenderungan hati dan tidak boleh seorang bisa memaksakan sedikit pun, sambil saling menghormati perbedaan sebagai sunnatullah.

Wassalam,

Kompleks GFM, 1 Maret 2025
*Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar