Tugu Persatuan di Kota Kendari
Sejak lama, warga Buton menginginkan provinsi sendiri. Ini bisa dilihat sebagai ipotret dari kemandirian untuk mengelola wilayah, tanpa harus bolak-balik ke Kendari. dari sisi budaya, langkah itu strategis untuk bisa menampilkan ekspresi budaya, tanpa harus menunggu restu Kendari.
Mari kta lihat contoh terbaru. Warga kepulauan baru saja bergembira karena salah satu tokoh sejarah disahkan sebagai pahlawan nasional dari Sultra.
Saat pemerintah provinsi hendak membangun patung tokoh itu di Kendari, tiba-tiba saja muncul demonstrasi yang menentang pembangunan patung pahlawan nasional. Di sisi lain, para tokoh dari daratan seakan membiarkan itu, malah terindikasi mengompori warga.
Ya, itu cuma patung. Tapi cukuplah memberi kita gambaran bahwa di Sultra, isu etnik belum selesai. Belum ada kesadaran tentang satu identitas bersama, sehingga patung atau seonggok batu bisa diberi identitas etnik lalu memicu demonstrasi. Eh, elite politik malah mendukung dan membiarkannya.
Ketiga, blunder. Dalam banyak kampanye, Nur Alam selalu mengulang-ulang kalimat kalau Sultra harus dijaga dari pendatang. Malah di satu kampanye, dia menyebut pendatang itu sebagai ‘palukka.’ Ini memicu reaksi dari mereka yang disebut pendatang.
Padahal kalau dia rajin membaca data, orang Bugis di Sultra tidak tepat disebut pendatang. Di beberapa wilayah seperti Bombana dan Kolaka, mereka adalah warga asli.
Memori kolektif masyarakat Sulawesi Tenggara banyak dipenuhi kisah pertautan budaya dengan saudara dari selatan. Di Pulau Muna, ada kisah Sawerigading, seorang ksatria dari Luwu yang singgah.
Di Pulau Buton, kisahnya terentang panjang, mulai dari penguasa periode awal, hingga kedatangan Arung Palakka. Bahkan nama Baubau, sebagai pusat kesultanan Buton, sering dikaitkan dengan Andi Bau, para pedagang Bugis yang memenuhi pesisir.
Setelah kemerdekaan, banyak saudara dari Selatan yang berdatangan sejak tahun 1950-an, khususnya ketika tembakau dan komoditas seperti cokelat sedang booming di Kolaka. Mereka membaur dan menyatu dengan warga lokal.
Dengan sering memojokkan mereka, di sisi lain tidak ada kesadaran etnik bersama di Sultra, maka kesadaran politik itu bangkit.
ASR menikmati berkah saat banyak orang membentuk relawan sendiri, membiayai relawan itu, lalu bergerak secara mandiri. Banyak para saudagar, pengusaha, dan pemilik bisnis besar di Sultra yang terketuk nuraninya saat sering dipojokkan dalam ampanye politik.
Di titik ini, ruang gerak ASR di kepulauan tak bisa ditandingi cagub lainnya. Dia dengan santai menjalin relasi dengan para elite dan bangsawan Kesultanan Buton.
Dia menghadiri pelantikan sultan, sering hadir di berbagai acara budaya, sehingga semua orang melihat dirinya bukan sebagai orang lain. Di tambah lagi, wakilnya Hugua adalah sosok yang cukup mengakar dan bisa membangun network dengan semua kalangan.
Keempat, logistik. Ada bau tambang di pertarungan kandidat Gubernur Sultra. Hampir semua kandidat memiliki afiliasi kuat pada tambang nikel di perut bumi Sulawesi Tenggara. Semua punya irisan, afiliasi dengan para bohir dunia tambang, yang melihat Sultra sebagai lahan untuk dikeruk demi pundi-pundi terus bertambah.
Publik tahu kalau Nur Alam dan ASR sama-sama pebisnis tambang. Kedua-duanya kaya gara-gara bisnis itu. Ini konflik pribadi, yang kemudian masuk ke ranah politik. Kalaupun dia mengatasnamakan pribumi yang harus menjaga daerah dari pendatang, publik berpikir kalau itu hanya kamuflase dari kepentingan sendiri.
Sejak bisnis tambang merebak, tanah Sultra menjadi lahan yang didatangi banyak pebisnis besar. Dalam beberapa tahun ini, banyak organisasi pengusaha, mulai Hipmi hingga Kadin yang menggelar acara di Sultra. Di sela-sela kegiatan itu, para pengusaha lalu berjejaring, dan meramaikan bisnis yang kemudian melahirkan banyak orang kaya baru di Sultra.
Di titik ini, kelebihan orang Bugis adalah memiliki jejaring (network) paling rapi dengan pusat, serta punya jiwa dagang paling kuat. Lihat saja banyak toko dan bisnis di Kendari yang didominasi oleh mereka.
Kemampuan logistik ini menjadi pembeda. Di tanah Sultra, siapapun pemenang, bisa dipastikan tidak hanya andalkan kapasitas dan kapabilitas, tetapi juga isi tas. Di titik ini, bertemu kepentingan antara elite yang ingin menang pemilihan langsung, serta rakyat yang sekian pemilihan sudah terbiasa menerima isi tas.
Dari berbagai telaah di atas, bukan hal mengejutkan jika ASR sukses menjadi orang Bugis pertama di tampuk kepemimpinan Sultra. Dia menjadi titik temu dari berbagai etnik yang tak kunjung bisa saling menerima. Dia pula yang paham bagaimana mengelola sumber daya politik, serta punya amunisi untuk memastikan dirinya menuju kursi kemenangan.
Namun dilihat dari sisi substansi dan masa depan daerah ini, kemenangan ini tak membawa makna apa-apa. Naiknya seorang militer dan pebisnis tambang di negeri yang kaya tambang tidak selalu membawa kebaikan bagi negeri. Ada kekhawatiran tentang bumi Sultra yang kian dikeruk, bencana ekologis yang kian massif, serta politik yang kian transaksional.
Sepatutnya kita menangis, bukan gembira dan larut dalam kemenangan.
*Penulis adalah warga asli Sulawesi Tenggara. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.