oleh: Yusran Darmawan*
Di tengah kabut pagi Rinjani, dulu ada sosok yang nyaris tak dikenal, berjalan dengan kepala tertunduk, menolong pendaki yang tersesat, membersihkan jalur yang dipenuhi sampah, dan berbagi rokok linting dengan porter lain di pos peristirahatan.
Namanya Agam. Ia bukan siapa-siapa. Ia tidak mengejar popularitas, apalagi panggung. Ia hanya ingin Rinjani tetap utuh, dan orang-orang yang melintas di punggungnya bisa selamat pulang.
Tapi Agam berubah, atau tepatnya: dunia mengubahnya.
Semuanya bermula dari sebuah video pendek yang memperlihatkan Agam menyelamatkan seorang pendaki asing yang hampir tergelincir di medan curam. Video itu viral.
Dalam waktu seminggu, Agam menjadi nama yang disebut-sebut dalam berita nasional, bahkan masuk liputan internasional. Ia dipuja sebagai “Pahlawan Rinjani”, dijadikan ikon oleh kementerian, diundang ke talk show, dan dikirimi hadiah oleh brand-brand outdoor gear.
Orang ramai menyebutnya inspiratif. Tapi tidak banyak yang bertanya: bagaimana kabar Rinjani setelahnya?
Di saat Agam dielu-elukan, gunung tempat ia mengabdi justru menghadapi luka yang lebih dalam. Jalur pendakian makin padat, volume sampah meningkat drastis, dan desa-desa di kaki Rinjani masih miskin air bersih.
Sementara Agam diseret dari satu forum ke forum lain, dari satu bidikan kamera ke kamera lain, suara-suara lokal yang dulu bersamanya. mulai dari porter, pemilik warung, petani kopi lereng bukit, tak lagi mendapat ruang. Mereka bukan bagian dari cerita yang viral.
Bahkan kritik dari netizen Brazil yang menyebut “pemberitaan tentang Agam hanya menutupi ketimpangan dan kerusakan sistemik di destinasi wisata” tidak sepenuhnya keliru. Apa gunanya menyanjung satu orang kalau masalah utamanya tetap tak tersentuh?
Kenapa masyarakat internasional begitu mudah terharu oleh satu narasi penyelamatan, tapi diam saat tambang pasir ilegal di kaki gunung merusak mata air masyarakat?
Dan di titik inilah, kita harus jujur mengakui: tanpa sadar, kita semua ikut membunuh Agam.
Namun bukan hanya kita. Media massa yang menciptakan kisah “inspiratif” untuk rating. Pejabat kementerian yang berlomba mendekat demi citra. Para pesohor yang mengunggah potret bersama demi validasi moral.
Brand produk yang menempelkan logo mereka di punggung Agam, berharap ia menjadi wajah yang “menggugah” sekaligus “menjual”. Mereka semua turut menari dalam irama yang sama, mengangkat Agam setinggi mungkin, bukan untuk menyelamatkan Rinjani, tetapi untuk memoles wajah mereka sendiri.
Dalam suasana yang tampak penuh kepedulian, laju kapitalisme justru mengalir mulus. Rinjani menjadi latar eksotis. Agam menjadi simbol yang dimodifikasi. Dan yang tertinggal hanyalah kerusakan yang tak ditangani, janji-janji yang tak ditepati.
Filsuf Prancis Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, pernah menulis bahwa kita hidup dalam dunia di mana “segala sesuatu tampil sebagai citra”. Heroisme dalam era ini, menurutnya, bukan lagi tentang keberanian, tetapi tentang bagaimana keberanian itu dipentaskan dan dijual.
Dan dalam dunia yang dipenuhi gambar, yang sejati menjadi sunyi, yang palsu menjadi panglima.
Mungkin Agam tetap setulus dahulu. Mungkin Agam masih ingin membantu, masih mencintai gunungnya, masih mendengar suara-suara angin dari balik hutan. Tapi akan banyak hal berubah: wajah-wajah yang dulu menyapanya kini asing, jalur yang dulu ia bersihkan kini dipenuhi tenda komersial, dan dirinya sendiri kini dibebani harapan yang bukan miliknya.
Ia pernah bilang pada seorang teman, “Saya rindu jadi orang biasa.”
Tapi keinginan itu tak bisa dipenuhi. Media telah menciptakan versinya sendiri tentang Agam, dan versi itu jauh dari kenyataan. Agam yang sejati akhirnya terpinggirkan, dan ironi pun lahir: dalam upaya mengangkat kisah seorang penjaga gunung, kita justru telah membiarkannya jatuh.
Kini, Agam tetap di Rinjani. Tapi Rinjani tak lagi sama. Ia dipenuhi jejak-jejak pelancong yang hanya datang untuk selfie. Agam pun tak lagi utuh. Ia hidup dalam sunyi, dalam kelelahan, dan mungkin juga dalam luka.
Ia adalah pahlawan yang kita lahirkan dengan gegap gempita, tapi biarkan mati dalam kesepian. Dan Rinjani?
Ia tetap berdiri, diam, menyimpan luka dan kesaksian. Memandang dari jauh, mungkin dengan sedih, mungkin dengan marah, melihat bagaimana manusia bisa begitu cepat mencintai dalam sorak, lalu meninggalkan dalam senyap.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.