Opini

Sukatani, Band “Aliran Sesat”: Ditekan, Justru Semakin Melesat

Sukatani Band

Oleh: Khusnul Yaqin*

Sejak awal, punk bukan sekadar musik, melainkan sebuah sikap. Ia lahir dari perlawanan, kritik sosial, dan keberanian untuk menyuarakan ketidakadilan. Sukatani, band punk asal Purbalingga, membuktikan bahwa musik bisa menjadi alat ekspresi yang tajam dan menggugah kesadaran publik. Alih-alih hanya menghibur, mereka memilih jalur yang lebih berani—menguliti realitas sosial dengan lirik-lirik tanpa basa-basi. Namun, seperti yang sudah sering terjadi dalam sejarah musik perlawanan, semakin keras mereka ditekan, semakin melesat nama mereka.

Lagu "Bayar, Bayar, Bayar" jadi bukti nyata bagaimana musik bisa menyulut gelombang kritik yang lebih luas. Liriknya yang gamblang dan tegas menyoroti ketimpangan dalam institusi kepolisian memang bukan barang baru, tetapi Sukatani menyampaikannya dengan cara yang lugas dan langsung menghantam ke inti masalah. Tak butuh waktu lama, lagu ini viral dan menjadi anthem bagi mereka yang sudah lama muak dengan berbagai penyimpangan di institusi kekuasaan. Mahasiswa, aktivis, hingga rakyat biasa menjadikannya sebagai simbol kegelisahan yang selama ini terpendam.

Namun, seperti biasa, reaksi dari mereka yang merasa terganggu juga tidak kalah cepat. Bukannya merespons dengan cerdas, tangan-tangan kekuasaan justru memilih cara paling klasik: membungkam. Sukatani mendapat tekanan untuk menghapus lagu mereka, bahkan sampai mengunggah video permintaan maaf—sebuah langkah yang justru memicu spekulasi bahwa mereka dipaksa untuk diam. Tetapi, apakah langkah ini efektif? Sama sekali tidak. Yang terjadi justru sebaliknya: lagu mereka semakin banyak dicari, didengar, dan didiskusikan. Semakin ditekan, semakin banyak orang yang penasaran dan mendengarkan lagu mereka.

Fenomena ini membuktikan satu hal: penguasa tidak pernah belajar dari sejarah. Mereka masih saja menggunakan metode usang dalam menghadapi suara-suara kritis. Alih-alih mencari pendekatan yang lebih inovatif, mereka memilih jalur represi yang justru berfungsi sebagai propaganda gratis bagi band yang ingin mereka bungkam. Seandainya mereka sedikit lebih cerdas, mereka akan melihat bahwa kritik semacam ini tidak perlu dihadapi dengan paranoia. Menggunakan Teori Konflik Konstruktif ala Louis Kriesberg, misalnya, bisa menjadi strategi yang jauh lebih efektif.


>> Baca Selanjutnya