
Sukatani band tampil dengan nuansa anarko-punk yang khas. Credit: Suara Merdeka.
Kriesberg menekankan bahwa kekritisan bukan sesuatu yang harus diberangus, tetapi bisa dikelola untuk menghasilkan perubahan sosial yang lebih inklusif. Apa yang dinyanyikan Sukatani bukan sekadar ocehan asal-asalan, melainkan refleksi dari keresahan masyarakat luas. Mereka adalah cerminan dari suara rakyat yang lelah menghadapi penyimpangan oknum-oknum penguasa. Jika pemerintah cerdas, seharusnya mereka memanfaatkan band seperti Sukatani sebagai mitra dalam mengungkap ketimpangan sosial. Beri mereka ruang, fasilitasi karya mereka, dan biarkan kritik mereka menjadi bagian dari mekanisme perbaikan sistem. Dengan begitu, ongkos politik dan sosial yang harus dikeluarkan untuk menutupi borok sendiri bisa ditekan. Ada rakyat yang secara sukarela bersuara untuk menyampaikan realitas di lapangan, mengapa malah dilabeli sebagai ancaman?
Sejarah sudah berulang kali menunjukkan bahwa menekan ekspresi seni yang berisi kritik sosial hanya akan membuatnya semakin bergaung. Dari Sex Pistols hingga Dead Kennedys, represi selalu berujung pada penguatan gerakan. Sukatani kini berdiri di persimpangan yang menentukan: apakah mereka akan terus melaju sebagai suara perlawanan, atau memilih jalur aman demi kenyamanan? Apa pun pilihan mereka, satu hal sudah pasti—mereka telah menorehkan jejak dalam sejarah punk Indonesia.
Yang lebih penting, kasus ini menjadi cermin bagi demokrasi kita. Jika sebuah lagu bisa dianggap sebagai ancaman hingga harus ditekan, itu pertanda ada sesuatu yang salah dalam sistem yang kita jalani. Musik seharusnya menjadi ruang bebas untuk menyuarakan kegelisahan, bahkan jika itu tidak nyaman bagi mereka yang berkuasa. Bagi seniman lain, kisah Sukatani adalah pelajaran penting: ketika sebuah karya benar-benar menyentuh inti persoalan sosial, tidak ada kekuatan yang benar-benar bisa membungkamnya.
Jadi, jika penguasa masih berpikir bahwa membungkam kritik adalah solusi, sebaiknya mereka bersiap untuk kecewa. Karena, dalam dunia punk—dan dalam sejarah perlawanan pada umumnya—semakin keras suara dibungkam, semakin nyaring gaungnya di tengah masyarakat.
*Penulis adalah Guru Besar Universitas Hasanuddin