Oleh: Khusnul Yaqin*
Universitas sejak kelahirannya tidak pernah berhenti menjadi jantung peradaban. Ia adalah pusat di mana ilmu dan teknologi bertemu, diolah, dan dikristalisasi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pengetahuan: menjadi arah bagi peradaban manusia. Namun, agar universitas sungguh dapat berperan sebagai mercusuar kemajuan, ia tidak boleh sekadar menjadi pengikut kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah. Sebaliknya, universitas harus tampil sebagai penggerak utama yang memengaruhi arah kebijakan negara, masyarakat, dan bahkan dunia. Peran ini hanya bisa dijalankan apabila universitas menguatkan dirinya, baik dalam dapur teoritis maupun laboratorium praktis, sehingga produksi teori dan teknologi benar-benar bertumpu pada kekuatan internal universitas itu sendiri.
Langkah pertama yang harus ditegaskan adalah posisi teori. Universitas sejatinya adalah produsen utama teori, karena teori adalah fondasi bagi setiap bentuk teknologi. Hal inilah yang membedakan universitas dengan institut dan lembaga pendidikan yang lebih rendah lainnya. Teori bukan hanya rangkaian konsep abstrak, melainkan kerangka besar yang memungkinkan manusia memahami realitas, merancang teknologi, dan menavigasi arah masa depan. Karena itu, universitas semestinya mendedikasikan sekitar 70 persen kekuatan intelektualnya pada pengembangan teori, sementara 30 persen diarahkan untuk melahirkan teknologi.
Namun, bukan berarti teknologi dikesampingkan. Justru teori yang kuat akan menjadi penopang kokoh bagi pengembangan teknologi yang tepat guna dan berkelanjutan. Tanpa teori yang mapan, teknologi hanya akan menjadi tempelan sesaat, bergantung pada impor, dan tidak mampu menopang peradaban bangsa.
Dalam konteks teknologi, universitas harus bijak mengambil langkah bertahap. Teknologi tepat guna harus mendapat porsi dominan, sekitar 70 persen dari keseluruhan produk teknologi universitas. Teknologi tepat guna adalah yang langsung dibutuhkan masyarakat, mudah diterapkan, murah, dan menjawab persoalan riil di lapangan. Dari sinilah universitas bisa menciptakan kemandirian ekonomi, mengurangi ketergantungan masyarakat pada produk luar negeri, sekaligus memperkuat relasi antara ilmu dan rakyat. Namun, universitas tidak boleh berhenti di situ. Sisanya, 30 persen dari upaya teknologi harus diarahkan pada pengembangan high tech, teknologi tinggi yang menjadi wajah persaingan global. Pentahapan ini penting: dimulai dari teknologi tepat guna sebagai basis pembiayaan, kemudian perlahan universitas mampu melompat ke arena teknologi tinggi. Dengan cara ini, masyarakat sebagai pembeli utama teknologi tepat guna akan menjadi penopang ekonomi universitas, dan dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk riset yang lebih canggih dan strategis.

Ilustrasi yang menggambarkan peran universitas sebagai jantung peradaban manusia.Ilustrasi ini menunjukkan sebuah bangunan universitas yang menjadi pusat, dengan akarnya yang kuat mengakar ke laboratorium dan perpustakaan. Dari sana, cahaya "Teori" dan "Teknologi" memancar keluar, memengaruhi masyarakat dan kebijakan pemerintah. Cabang "Teknologi" terbagi menjadi teknologi tepat guna yang melayani masyarakat secara langsung, dan teknologi canggih yang memimpin persaingan global. Akarnya juga menampilkan kekayaan biologis Indonesia, seperti tumbuhan tropis dan biota laut.
Agar semua itu tercapai, universitas harus memperkuat dapurnya. Dapur pertama adalah laboratorium, baik yang ada di kampus maupun yang berada di lapangan. Laboratorium adalah rahim bagi lahirnya teori baru, ruang uji bagi teknologi, dan tempat pertemuan antara gagasan dan praktik. Tanpa laboratorium yang kuat, universitas hanya akan menjadi ruang kuliah kosong yang miskin inovasi. Laboratorium yang diperkuat tidak hanya berarti fasilitas fisik, tetapi juga dukungan riset, pendanaan berkelanjutan, dan jejaring akademik lintas disiplin. Di sanalah mahasiswa dan dosen ditempa untuk menghasilkan ilmu yang hidup, bukan sekadar hapalan. Universitas harus berani menjadikan laboratorium sebagai prioritas, bukan sisipan dari anggaran yang tersisa.
Dapur kedua adalah perpustakaan dan akses terhadap literatur ilmiah. Perpustakaan bukan sekadar gudang buku, melainkan gerbang peradaban pengetahuan. Dalam era digital, perpustakaan universitas harus bertransformasi menjadi pusat akses pengetahuan global. Langganan penuh dengan berbagai penerbit jurnal internasional bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Tanpa akses jurnal, mustahil mengembangkan teori atau teknologi, sebab universitas akan terputus dari arus utama pengetahuan dunia. Dengan perpustakaan yang terbuka, mahasiswa dan dosen dapat menyelam dalam samudra ilmu, memperkaya perspektif, dan melahirkan teori-teori yang tidak hanya orisinal, tetapi juga relevan dengan tantangan zaman. Inilah investasi jangka panjang yang harus disadari: setiap rupiah yang dialokasikan untuk perpustakaan adalah benih bagi lahirnya generasi ilmuwan masa depan.
Selain memperkuat dapur internal, universitas harus mampu mengidentifikasi keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa ini. Indonesia adalah negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa. Bidang hayati—mulai dari biodiversitas laut, hutan tropis, hingga sumber daya genetik—merupakan emas hijau yang tidak ternilai. Universitas harus berani menjadikan bidang ini sebagai pusat produksi ilmu dan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan dan energi berbasis sumber daya hayati. Dengan fokus pada kekuatan alam sendiri, universitas bukan hanya memperkuat jati diri bangsa, tetapi juga mampu menyerap dana besar dari berbagai pihak yang tertarik pada pengembangan bioteknologi, bioenergi, dan biomaterial. Inilah jalan cerdas: mengandalkan kekayaan sendiri untuk melahirkan teori global dan teknologi masa depan.
Namun, peradaban tidak dibangun hanya dengan teori dan teknologi. Universitas harus pula membentuk masyarakat terbuka—open society—yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang berani berpikir kritis, menghargai perbedaan, terbuka pada pembaruan, dan berlandaskan sains dalam setiap pengambilan keputusan. Universitas memiliki peran sentral dalam mencetak masyarakat semacam ini. Dengan membangun open society, universitas bukan hanya mendidik mahasiswa, melainkan juga memengaruhi pola pikir masyarakat luas. Teori dan teknologi yang lahir dari universitas akan hidup bukan hanya di ruang akademik, tetapi juga di benak dan tindakan masyarakat. Pada titik ini, universitas benar-benar menjadi motor peradaban, bukan sekadar pabrik ijazah dan produsen pemburu kerja.
Penting pula ditegaskan bahwa universitas tidak boleh terus-menerus berjalan mengikuti perubahan kebijakan pemerintah yang sering bersifat pragmatis dan jangka pendek. Justru universitaslah yang harus memengaruhi pemerintah, memberikan arah, dan menjadi rujukan dalam setiap kebijakan pendidikan maupun pengembangan ilmu dan teknologi. Peradaban ilmiah yang kokoh hanya akan lahir ketika universitas berdiri tegak, mandiri, dan berani berbicara dengan suara ilmu, bukan dengan gema birokrasi. Pemerintah boleh berganti, regulasi boleh berubah, tetapi universitas harus konsisten menjaga api peradaban. Jika ini terwujud, universitas tidak hanya menjadi institusi pendidikan, melainkan pilar utama yang menopang bangsa.
Dengan seluruh langkah itu—penguatan teori, pengembangan teknologi bertahap, pengokohan laboratorium dan perpustakaan, fokus pada sumber daya hayati, penciptaan masyarakat terbuka, dan kemandirian dari tarik-menarik kebijakan—universitas akan sungguh-sungguh menjadi sumber peradaban. Dari universitaslah lahir teori yang mengubah cara pandang manusia, teknologi yang memudahkan kehidupan, masyarakat yang terbuka dan kritis, serta kebijakan yang berpihak pada ilmu. Universitas menjadi kawah candradimuka peradaban ilmiah yang mampu menjawab tantangan lokal sekaligus global.
Membangun peradaban manusia dari universitas bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang bisa dicapai dengan visi yang jelas dan langkah yang konsisten. Selama universitas berani menjadikan dirinya sebagai produsen teori dan teknologi, selama ia memperkuat dapur ilmiahnya, selama ia berakar pada kekayaan hayati bangsa, dan selama ia berani berdiri independen dari politik sesaat, maka universitas akan menjadi matahari yang memancarkan cahaya bagi seluruh kehidupan. Inilah jalan agar bangsa tidak hanya bertahan dalam arus globalisasi, tetapi juga memimpin dengan peradaban yang kokoh. Universitas bukan lagi sekadar tempat belajar, melainkan sumber lahirnya manusia-manusia yang membawa peradaban ke puncak kemuliaannya.
Jika tidak demikian, maka universitas hanya akan menjadi "kambing congek" yang mengikuti irama gendang dari pemerintah pusat yang kebijakannya selalu berubah sepanjang masa. Akademisi pada akhirnya direduksi menjadi "juru ketik" tugas-tugas yang dibebankan oleh penguasa. Alumni, alih-alih, menjadi bagian dari pembentuk peradaban ilmiah, justru menjadi pemburu kerja yang tidak peduli dengan kompetensi yang sudah diserapnya dari universitas. Inilah awal mula katastropi peradaban, ynag harus dihindari oleh suatu universitas.
*Penulis adalah Guru Besar pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.