Catatan Tasrifin Tahara dari Timor Leste
Mentari pagi menyinari pasir putih Pante Macassar di Timor Leste. Ombak datang perlahan, seolah membisikkan kisah lama yang belum selesai dituturkan. Anak-anak berlarian di tepi pantai, sementara perahu nelayan bergoyang halus, menunggu sang pemilik.
Nama pantai ini selalu memantik rasa ingin tahu saya. Mengapa disebut Macassar? Apakah karena pelaut Bugis-Makassar dahulu pernah singgah di sini, menjual rempah, atau bahkan menetap, jauh sebelum Portugis menjejak tanah Timor?
Pante Macassar di Oecusse, eksklave Timor Leste yang unik karena hanya bisa diakses dengan melewati daratan Indonesia, adalah potongan sejarah yang masih menyisakan misteri.
Bagi masyarakat lokal, pantai ini adalah simbol keterhubungan. Bagi saya, ia menjadi pengingat bahwa laut bukanlah batas, melainkan jembatan. Di titik ini, kita menemukan benang merah ikatan kultural antara Makassar dan Timor Leste yang tak mudah dipisahkan.
Oecusse: Bahasa, Gizi, dan Sebuah Kejutan
Perjalanan saya ke Distrik Oecusse bukan sekadar untuk mengenang jejak sejarah. Sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan, saya datang untuk melakukan monitoring dan evaluasi program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA).
Saya duduk bersama para guru SMP dan SMA, mendengar harapan mereka agar bahasa Indonesia mendapat ruang lebih luas dalam kurikulum.
Di ruang pertemuan sederhana itu, saya mendengar satu fakta mengejutkan: program Makan Bergizi Gratis telah berlangsung sepuluh tahun di Timor Leste.
Di saat kita di Indonesia masih sibuk memperdebatkan konsepnya, di sini anak-anak sudah menikmatinya sebagai bagian dari keseharian sekolah. Saya tertegun. Pendidikan di Timor Leste sedang menegaskan bahwa gizi bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan fondasi peradaban.
Namun, tantangan lain tetap ada. Bahasa Indonesia memang hidup di ruang budaya: dari khutbah Jumat di Masjid An-Nur Dili hingga sinetron yang ditonton setiap malam.
Tapi bahasa yang dipahami kerap adalah bahasa gaul, bukan bahasa baku. Huruf c dan k sering tertukar, logika tata bahasa hilang dalam tawa drama televisi. Maka tugas kami adalah memastikan bahwa bahasa Indonesia hadir sebagai bahasa ilmu, bukan sekadar bahasa hiburan.
Ikatan Kultural Makassar–Timor Leste
Di setiap langkah saya, saya merasakan bahwa Indonesia dan Timor Leste adalah saudara yang terpisah oleh sejarah. Ada luka yang pernah membelah, tetapi ada juga kebudayaan yang merajut kembali. Dari musik, kuliner, hingga tontonan televisi, jejak Indonesia selalu hadir di keseharian warga Timor Leste.
Saya teringat kata-kata seorang tetua di Oecusse: “Laut yang sama memberi kita ikan yang sama, angin yang sama meniup layar kita.” Betapa kuatnya pesan itu. Hubungan ini bukan semata politik, melainkan persaudaraan yang berakar dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa hari setelah kunjungan ke Oecusse, saya menerima tamu di Gedung Pusat Budaya Indonesia, Dili. Mereka adalah wajah-wajah yang penuh semangat, para alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) yang kini berkiprah di berbagai bidang di Timor Leste.

Hadir Dr. Drs. Joao Noronha, M.Sc., alumni Fakultas Sastra yang kini menjadi pejabat terkemuka. Ada pula dr. Marcelino Correia, lulusan Fakultas Kedokteran, serta Julio Pereira de Castro, S.Hut., alumnus Fakultas Kehutanan.
Mereka bercerita dengan antusias bagaimana ilmu yang diperoleh di Makassar telah mereka terjemahkan menjadi kontribusi nyata bagi pembangunan negeri mereka.
Mereka mengajukan sebuah gagasan penting: pembentukan Ikatan Alumni (IKA) Unhas Timor Leste. Sebuah wadah untuk merawat silaturahmi, memperkuat kontribusi, dan memperdalam hubungan antara Makassar dan Dili.
Saya mendukung penuh gagasan ini. Bagi saya, alumni adalah duta yang tak hanya membawa nama universitas, tetapi juga memperpanjang denyut diplomasi kebudayaan.
Menutup dengan Harapan
Diplomasi lunak selalu dimulai dari ruang-ruang kecil: ruang kelas, diskusi alumni, pertemuan budaya. Dari situlah terbentuk kepercayaan, yang kelak membuka jalan bagi kerja sama ekonomi dan politik.
Saya percaya, Universitas Hasanuddin memiliki peran strategis dalam jembatan ini. Sejak Timor Leste masih menjadi Provinsi Timor Timur hingga kini berdiri sebagai negara merdeka, alumni Unhas tetap hadir dan berkontribusi. Mereka adalah bukti bahwa ilmu yang ditanam di Makassar mampu tumbuh subur di tanah lain.
Maka, pada momentum istimewa ini, saya ingin menyampaikan: Selamat Dies Natalis ke-69 untuk Universitas Hasanuddin. Kampus merah telah menjadi mercusuar ilmu dari timur Indonesia, dan kini cahayanya sampai ke Dili, ke Oecusse, hingga ke pelosok Timor Leste.
Izinkan saya menutup dengan pesan sederhana untuk para mahasiswa dan alumni:
“Jangan berhenti belajar. Ilmu adalah mata air yang tak pernah kering. Dari Makassar hingga Dili, dari ruang kelas hingga gelanggang dunia, ilmu adalah bekal kita untuk membangun persaudaraan dan peradaban.”
*Tasrifin Tahara adalah guru besar bidang antropologi Universitas Hasanuddin. Kini menjabat sebagai Atasa Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Timor Leste