Oleh: Haryati, S.Pd*
Pendidikan pertama
seorang anak berada pada pangkuan ibu. Kebutuhan anak terhadap ibu melebihi
segala kepentingan lainnya, menjadikan peran ibu sebagai fondasi utama dalam
membangun karakter manusia. Tidak ada tugas yang lebih luhur daripada mendidik
manusia dengan akhlak dan perilaku mulia. Seorang ibu yang mendidik
anak-anaknya dengan baik telah memberikan sumbangsih besar kepada masyarakat,
menyelamatkan umat, bangsa, dan negara.
Dalam Islam, peran
ibu mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi. Namun, di tengah refleksi ini,
muncul tantangan dari pandangan feminisme modern yang sering kali
mempertanyakan peran keibuan. Feminisme liberal, misalnya, menerima peran
keibuan namun menekankan bahwa peran ini harus menjadi pilihan otonom
perempuan, tanpa paksaan dari masyarakat atau pemerintah. Di sisi lain,
feminisme radikal menolak konsep keibuan alami. Ann Oakley, salah satu tokoh
feminisme, membedakan antara keibuan biologis, yang melibatkan proses
kehamilan, dan keibuan sosial, yakni perawatan setelah kelahiran.
Oakley membedakan keibuan untuk
mengungkap bahwa peran biologis dan sosial sering kali dijadikan alat untuk
membebani perempuan secara tidak adil. Ia berusaha membongkar asumsi bahwa
keibuan adalah kewajiban universal. Oakley menyoroti bahwa tekanan sosial dan
budaya telah menciptakan mitos keibuan, yang menempatkan perempuan dalam peran
yang terkadang bertentangan dengan keinginan mereka.
Ia mengkritik keyakinan
bahwa semua perempuan membutuhkan peran ibu, bahwa ibu membutuhkan anak, dan
bahwa anak bergantung pada ibu mereka. Menurutnya, keinginan menjadi ibu
bukanlah naluri biologis, melainkan hasil rekayasa sosial. Ia juga menolak
gagasan bahwa anak-anak membutuhkan ibu biologis mereka secara emosional,
menyatakan bahwa keibuan adalah konstruksi budaya yang diciptakan untuk
menindas perempuan. Ia berargumen bahwa ketiga keyakinan ini
bukanlah kebenaran mutlak, melainkan bentukan sosial yang bertujuan untuk
menundukkan perempuan.
Pandangan ini, meskipun berniat
membebaskan perempuan dari tekanan sosial, telah menghasilkan dampak yang
kompleks di masyarakat modern. Banyak perempuan memilih untuk menjauh dari
peran keibuan sepenuhnya. Fenomena childfree, di mana perempuan secara
sadar memutuskan untuk tidak memiliki anak, adalah salah satu dampak yang
paling menonjol. Lebih dari itu, konsep Oakley juga memengaruhi bagaimana
perempuan modern memandang keibuan sebagai sesuatu yang menghambat kebebasan pribadi
dan pencapaian karier. Pandangan ini dapat menciptakan jarak emosional antara
perempuan dan nilai-nilai keluarga, mengurangi penghormatan terhadap peran
tradisional ibu, dan bahkan memperlemah ikatan antar-generasi.
Namun, pandangan ini mendapat
tantangan. Faktanya, tidak
semua aktivitas keibuan bersifat menindas. Sebaliknya, makna dari setiap
aktivitas bergantung pada bagaimana perempuan memaknainya. Dalam masyarakat
modern, kesetaraan gender sering kali mengubah cara perempuan memandang
dirinya, sehingga mereka cenderung mengabaikan peran keibuan. Meski begitu,
naluri keibuan sering kali tetap ada, memengaruhi keinginan perempuan untuk
terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka.
Penelitian
menunjukkan bahwa hubungan emosional anak dengan ibu tetap lebih kuat
dibandingkan dengan hubungan anak dengan pengasuh lain. Psikolog menegaskan
bahwa meski anak-anak dapat diasuh oleh orang lain, mereka tetap menunjukkan
preferensi emosional terhadap ibu biologis mereka. Dalam konteks agama,
pentingnya peran ibu ditekankan, misalnya dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang
menyebutkan bahwa “surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Hadis ini
menggarisbawahi kesucian peran ibu dan dalam riwayat lain, Nabi SAW menjelaskan
pahala besar bagi ibu yang menghadapi kesulitan selama kehamilan, persalinan,
dan menyusui. Contohnya, seorang ibu yang hamil disamakan pahalanya dengan
orang yang berpuasa dan berjihad di jalan Allah. Ketika menyusui, pahalanya
setara dengan membebaskan seorang budak dari keturunan Nabi Ismail a.s.
Selain itu, banyak
penelitian menunjukkan bahwa ibu yang terlibat dalam pengasuhan anak memberikan
dampak signifikan pada perkembangan emosional dan mental anak-anak mereka.
Hubungan yang erat antara ibu dan anak menciptakan ikatan emosional yang kuat,
membentuk dasar dari kepercayaan diri dan stabilitas emosional anak di masa
depan. Ibu tidak hanya menjadi sumber cinta, tetapi juga sebagai pembimbing
moral yang membekali anak-anak dengan nilai-nilai kehidupan.
Peran ibu tidak
hanya berdampak pada anak, tetapi juga pada ibu itu sendiri. Mengasuh anak
mengajarkan nilai-nilai moral seperti kasih sayang dan kesabaran. Dalam ajaran
agama, penghormatan kepada ibu juga merupakan salah satu cara untuk mendorong
perempuan menerima peran ini. Misalnya, sebuah riwayat menegaskan bahwa seorang
anak harus menghormati ibunya tiga kali lebih banyak daripada ayahnya.
Penghormatan semacam ini menjadi pengingat bahwa peran ibu bukan hanya penting
tetapi juga sangat mulia.
Sejalan dengan
ajaran agama, kebijakan sosial dan budaya harus mendukung peran ibu. Dukungan
ini penting untuk meningkatkan motivasi perempuan dalam menjalani peran keibuan
dengan penuh dedikasi. Sebab, ketika seorang ibu menjalankan perannya dengan
baik, ia tidak hanya mendidik anak-anaknya tetapi juga turut membangun masa
depan yang lebih baik bagi masyarakat.
Meskipun ada
tantangan dari pandangan feminis radikal, penting untuk menyadari bahwa peran
ibu tidak harus dilihat sebagai beban atau alat penindasan. Sebaliknya, keibuan
adalah peran yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan batin bagi banyak
perempuan. Oleh karena itu, tugas kita adalah menciptakan lingkungan yang
mendukung perempuan dalam menjalani tugas mulianya menjadi seorang ibu.
Lingkungan yang memberi ruang bagi perempuan untuk menyeimbangkan tanggung
jawab keibuan dengan peran lain dalam kehidupan sosial atau profesional mereka.
Semua pihak harus terlibat, mulai dari keluarga hingga pemerintah, untuk
menciptakan ekosistem yang mendukung peran ibu. Jadi, peran ibu adalah
pilar utama dalam membangun masyarakat yang kuat dan berakhlak. Meskipun ada
berbagai tantangan ideologis dan sosial, penting untuk mendukung perempuan
dalam menjalankan peran ini. Ibu adalah pilar keluarga, fondasi masyarakat, dan
penopang peradaban. Tanpa ibu, tidak ada masa depan.
*Penulis, Mahasiswi S2 Kajian Studi Wanita dan Keluarga Universitas Internasional Almustafa Iran