Oleh: Muhammad Junaid*
Raja Ampat adalah permata alam di ujung timur Indonesia, tempat laut jernih menyimpan kehidupan bawah laut yang kaya dan masyarakat adat hidup harmonis dengan alam. Keindahan dan keanekaragaman hayati kawasan ini telah diakui dunia, bahkan UNESCO memasukkannya dalam daftar Geopark Global dan Tentative World Heritage Site. Namun, Raja Ampat kini menghadapi dilema besar. Di bawah tanahnya terdapat cadangan nikel yang sangat dibutuhkan untuk industri energi bersih. Sementara, di permukaannya, terhampar warisan alam dan budaya yang tak ternilai.
Pertanyaannya, dapatkah eksploitasi tambang berjalan berdampingan dengan pelestarian warisan dunia? Tambang seperti layaknya Kanker. Susah dihentikan jika sudah menjalar. Dan butuh waktu bertahun tahun untuk memulihkannya. Itu pun tidak bisa kembali seperti sedia kala. Tantangan ini menjadi perdebatan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab lingkungan. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan Raja Ampat, masa depan Warisan dunia yang dititipkan di Indonesia—apakah tetap menjadi surga ekologi atau berubah demi memenuhi kebutuhan industri global.
Untung Rugi dari Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Ekologi
Secara ekonomi, tambang nikel menjanjikan pendapatan dari ekspor, royalti, dan pajak. Namun, keuntungan ini bersifat jangka pendek dan sangat bergantung pada harga pasar global. Tambang juga menciptakan lapangan kerja, tetapi umumnya bersifat teknis dan tidak menyerap banyak tenaga kerja lokal.
Sebaliknya, pariwisata berbasis alam dan budaya telah terbukti memberikan manfaat ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan. Masyarakat lokal terlibat langsung sebagai pemandu, pengelola homestay, pengrajin, dan pelaku UMKM. Pariwisata juga memperkuat identitas budaya dan mendorong pelestarian lingkungan.
Namun, tambang membawa risiko besar yang memiliki efek domino terhadap ekosistem Raja Ampat yang sangat sensitif. Kerusakan terumbu karang, pencemaran laut, dan deforestasi bisa berdampak permanen. Jika lingkungan rusak, maka pariwisata pun akan mati. Artinya, keuntungan jangka pendek dari tambang bisa mengorbankan potensi ekonomi jangka panjang dari pariwisata.

Ilustrasi Tentang Kemungkinan Harmoisasi antara Pertambangan dan Pariwisata. Mungkinkah? Kredit: Chat GPT.
Tinjauan Konstitusional dan Hukum Lingkungan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini berarti pengelolaan tambang harus benar-benar memberi manfaat luas, bukan hanya untuk segelintir pihak.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menegaskan bahwa setiap kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL dan melibatkan masyarakat serta pemerhati lingkungan. Sayangnya, sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja dan PP No. 28 Tahun 2025, ruang partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan menjadi terbatas. Pemerhati lingkungan dan kelompok ilmiah tidak lagi disebut secara eksplisit sebagai pihak yang wajib dilibatkan.
Momentum tambang di Raja Ampat seharusnya menjadi titik balik untuk mengembalikan peran mereka. Pemerhati lingkungan dan akademisi memiliki kapasitas untuk memberikan masukan berbasis ilmu pengetahuan, yang sangat penting dalam menjaga kawasan seistimewa ini.
Nilai Tak Ternilai Menurut UNESCO
UNESCO menilai Raja Ampat sebagai kawasan dengan nilai ekologis, geologis, dan budaya yang luar biasa. Sebagai Geopark Global, Raja Ampat harus dikelola dengan prinsip konservasi, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Aktivitas tambang yang merusak lingkungan bertentangan langsung dengan prinsip tersebut dan bisa mengancam status geopark serta peluang menjadi warisan dunia.
Momentum Kepemimpinan Presiden Prabowo dan Menteri Bahlil
Keputusan Presiden Prabowo Subianto mencabut izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat adalah langkah berani yang patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa Indonesia serius menjaga warisan alamnya dan siap tampil sebagai pemimpin global dalam konservasi. Namun, tantangan belum selesai. Masih ada perusahaan yang beroperasi di pulau kecil, yang seharusnya dilindungi berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat tata kelola lingkungan, membuka ruang partisipasi publik, dan menegaskan bahwa pembangunan Indonesia tidak boleh mengorbankan warisan dunia.
Kesimpulan: Menentukan Arah Masa Depan
Raja Ampat tidak bisa menjadi tambang dan warisan dunia sekaligus. Kita harus memilih. Apakah kita ingin mengejar keuntungan jangka pendek dari tambang, atau membangun masa depan yang berkelanjutan melalui pariwisata dan konservasi? Toh masih ada daerah Wallacea sebagai ‘Rumah bagi tambang Nikel’ yang bisa dioptimalkan untuk mengejar sisi ekonomi dan keadilan sosial.
Pilihan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal arah pembangunan bangsa. Menjaga Raja Ampat berarti menjaga kehormatan Indonesia di mata dunia.
*Penulis adalah Sekretaris Pusat Studi Lingkungan Hidup Unhas