Opini

Banjir Tanggung Jawab Siapa?

Banjir

Oleh: Sawedi Muhammad*

                                      “The single raindrop nevel feels responsible for the flood”.

                                                                Douglas Adams.

Bencana banjir telah menjadi langganan kota ini sejak sepuluh tahun terakhir. Tak terhitung korban material seperti kerusakan rumah, jalan, jembatan, sekolah, pasar dan fasilitas publik lainnya serta kerugian immaterial seperti trauma, stres, depresi, kecemasan bahkan kematian. Seluruh kota merasakan dampak banjir yang sangat mengerikan. Meski demikian, dalam perspektif sosiologis, ketidakmerataan distribusi risiko lingkungan menyebabkan mereka yang tergolong rentan secara ekonomi merasakan dampak terbesar dari bencana banjir. Kelompok rentan ini umumnya hanya dapat mengakses perumahan di lahan marjinal, bermukim di dataran rendah seperti rawa-rawa, bantaran sungai, tepian kanal, sekitar pembuangan sampah bahkan dekat muara sungai. Kondisi mereka diperburuk oleh kurangnya akses informasi, minimnya infrastruktur dasar, keterbatasan sumber daya dan lemahnya jejaring sosial dan komunikasi ke pusat-pusat kekuasaan. 

Banjir perkotaan di tahun 2024 juga terjadi di belahan dunia yang lain seperti Brazil, Afganistan, Pakistan, Uni Emirat Arab, Sri Lanka, India, Bangladesh, Amerika dan Hongkong. Faktor pemicunya tentu tidak tunggal. Dari berbagai studi ditemukan bahwa penyebab banjir di perkotaan adalah akibat rusaknya sistem drainase, reklamasi pantai yang dipaksakan, perencanaan tata ruang wilayah yang semrawut, curah hujan ekstrim, kenaikan permukaan air laut, pendangkalan kanal-kanal dalam kota serta tata kelola persampahan yang amburadul (Baddianaah, 2023, Syarief, 2023, Rentschler, 2021). Mengetahui penyebab dominannya berkaitan dengan prilaku manusia (man-made flood), masih relevankah menyalahkan alam atau pihak lainnya ketika setiap tahun terjadi bencana banjir yang menyebabkan bencana kemanusiaan yang tak terperikan? Sebagai sebuah institusi politik yang strategis apa peran pemerintah kota dalam mengatasi masalah banjir? Apa kontribusi masyarakat dalam membantu pemerintah dalam mitigasi banjir?

Banjir dan Kepemimpinan

Penulis menelusuri jejak pemberitaan bencana banjir di kota Makassar sejak tahun 2014, dimana Danny Pomanto (DP) untuk pertama kalinya dilantik sebagai Wali Kota. Selama dua periode memimpin, semua dapat menyaksikan bahwa DP telah gagal mengatasi banjir dan gagal membuat Makassar menjadi kota yang nyaman kelas dunia (pedoman. media, 2024). Bahkan pada saat debat kedua Pilgub sulsel, minggu 10 November 2024, DP menegaskan bahwa banjir yang selalu terjadi di kota Makassar setiap musim hujan selama 10 tahun terakhir, bukan bencana hydrometeorologi, melainkan kesalahan tata ruang yang dilakukan pendahulunya (Fajar, 2024). Di kesempatan yang berbeda saat dibombardir begitu banyak tekanan, DP berseloroh akan memberikan hadiah kepada warga yang dapat mengatasi persoalan banjir di Makassar. Secara implisit DP mendeklarasikan kegagalannya dan pada saat bersamaan menebar pesimisme terhadap masalah banjir yang mustahil diselesaikan. Pernyataan pesimis, sembrono dan merendahkan dari seorang tokoh yang sudah malang melintang di dunia profesional dan birokrasi pemerintahan tersebut membuat banyak orang mencibir dan meragukan kualitas kepemimpinan dari DP.

Dalam karya seminalnya, “What Makes a Leader” yang diterbitkan di Harvard Business Review (HBR 2004), Psikolog Daniel Goleman menegaskan bahwa sering kali pemimpin ideal itu digambarkan sebagai orang yang cerdas, tegas, dan visioner, sebagaimana gambaran tradisional seorang pemimpin. Menurut Goleman, keahlian dan kecerdasan demikian tidaklah cukup untuk menjadi pemimpin yang baik. Satu elemen penting yang terlupakan dari kualitas seorang pemimpin yang sangat esensial dalam membawa transformasi positif yaitu kecerdasan emotional (emotional intelligence). Di dalam buku dengan judul yang sama, Goleman mengurai elemen dasar yang menopang kecerdasan emosional; self-awareness, self-management, social awareness dan relationship management. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan krusial baik untuk mengenali, memahami dan mengatur emosi diri sendiri maupun mengenali dan memahami dampak emosi tersebut kepada orang lain. Dalam praktik sehari-hari, kecerdasan emosional akan membuat kita waspada akan dorongan emosional yang dapat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku orang lain baik secara positif maupun negatif. Kecerdasan ini menurut Goleman akan sangat membantu seorang pemimpin baik dalam memberi maupun menerima masukan, memenuhi target kinerja, menghadapi hubungan sosial yang kompleks, tidak memiliki sumber daya yang memadai, memimpin dalam perubahan dan bangkit dari kegagalan. Jadi siapa pun yang jadi pemimpin, ketika berada dalam tekanan, gagal memberi solusi terhadap masalah krusial kemudian menyalahkan orang lain, menebar pesimisme, merendahkan orang lain adalah pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan emosional. 

Kepemimpinan Wali Kota Terpilih

Setelah KPU menetapkan Munafri Arifuddin dan Mustika Ilham (MULIA) sebagai pemenang Pilwalkot pada tanggal 6 Desember 2024, Wali Kota terpilih langsung bergerak cepat. MULIA juga sudah menetapkan tim transisi yang beranggotakan 5 profesional yang keahliannya dibutuhkan dalam mengawal komunikasi dan mengintegrasikan visi dan misi pasangan Wali Kota terpilih ke dalam program pemerintahan yang berjalan. Selain itu, Wali Kota Terpilih Munafri Arifuddin (Appi) sangat intensif berkomunikasi dengan pemangku kepentingan terkait dan mendiskusikan masalah-masalah kritikal yang sedang dihadapi kota Makassar. Salah satu masalah terbesar yang meresahkan warga Makassar saat ini adalah banjir yang sudah puluhan tahun tidak diselesaikan oleh Wali Kota sebelumnya. Dalam diskusi dengan Rektor Universitas Hasanuddin di awal desember, Appi sangat bersemangat dan optimis masalah banjir dapat dicarikan solusinya melalui kerja sama dan dukungan dari universitas, swasta dan masyarakat. Appi kemudian memberikan contoh beberapa kota di dunia yang berhasil mengatasi banjir seperti Curitiba, Tokyo, Bangkok dan Kuala Lumpur. Appi kemudian meminta kepada Rektor Unhas untuk menugaskan tim yang dapat membantunya dalam mencarikan solusi komprehensif terhadap masalah banjir. 

Di pertemuan pertama dengan tim penanganan masalah banjir dengan tim transisi, Wali Kota terpilih menyatakan optimismenya akan sanggup menyelesaikan permasalahan kompleks ini. Beliau sangat yakin bahwa Makassar memiliki potensi sumber daya manusia yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang mampu memberi solusi taktis-strategis baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Beliau memberi arahan bahwa langkah pertama yang mendesak adalah melakukan geofisikal dan geoteknikal diagnostik terhadap akar masalah banjir. Ahli dari Unhas dan institusi lainnya akan bergabung dalam satu tim dan bekerja bersama-sama dan memberikan rekomendasi yang komprehensif. Appi mengakui bahwa banjir adalah fenomena alam yang sangat kompleks. Kerja sama lintas sektoral melalui koordinasi yang persuasif adalah sebuah keharusan. Keterlibatan pemerintah pusat, provinsi, swasta dan masyarakat sipil adalah keniscayaan dalam mitigasi banjir di masa depan. Sebagai Wali Kota terpilih, Appi menegaskan bahwa dirinya akan berdiri di garis terdepan dan akan memimpin penanganan banjir sampai tuntas.

Mencermati cara komunikasi, kepercayaan diri, optimisme dan visi dari Appi dalam mencari solusi terhadap banjir Makassar, sangat menonjol gaya kepemimpinan transformasional yang dimilikinya. Kepemimpinan transformasional menitikberatkan pada upaya menginspirasi, memotivasi dan mengembangkan potensi maksimal dari semua pihak yang ada di sekelilingnya. Tidak sekadar memberi arahan atau perintah, pemimpin yang mengadopsi gaya ini berkomitmen menciptakan perubahan positif yang mendalam di seluruh struktur organisasi yang berada dalam tanggung jawabnya. Menurut James MacGregor Burns, terdapat empat elemen utama kepemimpinan transformasional; Intellectual Simulation, Individualized Consideration, Inspirational Motivation and Idealized Influence. Gaya Appi yang sangat antusias dan ingin mendobrak status quo tentang mitos sulitnya menemukan solusi terhadap banjir akan menginspirasi banyak orang bahwa Appi adalah pemimpin yang bersemangat mencoba hal baru dan menjajaki berbagai peluang di tengah krisis yang terjadi. Sebagai seorang pemimpin, Appi sadar betul bahwa caranya mengartikulasi visi dan optimisme akan sangat membantu menjaga semangat timnya dalam merealisasikan impian yang sama. Pemimpin transformasional dipastikan memiliki kemampuan untuk mendengarkan orang lain, adaptif, kreatif, menginspirasi, berpikiran terbuka, dan cerdas secara emosional. 

Partisipasi Masyarakat

Di berbagai peristiwa banjir, unsur masyarakat paling sering jadi sasaran perundungan, terutama mereka yang bermukim di daerah-daerah kumuh perkotaan. Mereka dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari kompleksitas penanganan sampah, drainase, aliran sungai, tata kelola kanal dan penataan permukiman. Karena kegagalan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, fenomena pengangguran, kemiskinan, disparitas wilayah, pemukiman kumuh menjadi tak terkendali. Kondisi seperti ini telah berlangsung lama akibat perkembangan kota yang oleh Sosiolog Saskia Sassen (2015) diibaratkan tumbuh seperti gerakan monster yang melululantahkan permukiman lama dan mendirikan bangunan tinggi menjulang, menyebar di semua sudut kota yang disebutnya sebagai urban. Kota secara hegemonik dikendalikan dan dibangun oleh pemilik kapital, aktor negara, arsitek, perencana kota dan memproduksi ruang yang oleh Henri Lefebvre disebut sebagai ruang yang dikonsepsikan (conceived space). Dalam pengertian ini, produksi ruang baik secara spasial maupun sosial erat kaitannya dengan perkembangan “mode of production” masyarakat moderen, dimana produksi pengetahuan tentang ruang adalah refleksi astas relasi keduanya. Lefebvre menegaskan bahwa konstruksi atas ruang merupakan nafas dari kapitalisme dimana ruang adalah sesuatu yang sama eksisnya dengan komoditas. Ruang sosial adalah produk sosial yang nyata.

Konsep Hak atas kota (right to the city) kemudian menemukan relevansinya dalam pelibatan masyarakat dalam penangan banjir di kota Makassar. Hak atas kota bukan berarti hak semua warga untuk hidup dan mengokupasi ruang di wilayah perkotaan. Ia merupakan hak untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak, hak yang berusaha mengklaim kembali sentralitas kota sebagai katalisator kesetaraan melalui revitalisasi ruang publik serta mendorong partisipasi warga di setiap proses pengambilan keputusan. Proses ini tentu melibatkan pengorganisasian warga secara aktif melalui gerakan bersama untuk mengakhiri segregasi spasial yang diskriminatif, mengakomodasi pluralitas dan mengkahiri pemanfaatan ruang yang semata untuk kepentingan kapitalistik yang menegasi keseimbangan ekologi, sosial dan kultural.

*Penulis, Sosiolog Universitas Hasanuddin, Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia, Sulawesi Selatan