Oleh: Nur Ihsan D*
Upaya untuk mendekolonisasi historiografi, sebagaimana yang diartikulasikan oleh Prof. Siggih Tri Sulistiyono dalam opininya di Kompas (19/6/2025), berakar pada sebuah niat yang tak dapat disangkal kebenarannya: untuk membongkar warisan epistemologis kolonialisme yang telah lama membatasi narasi masa lampau non-Eropa. Usulan untuk mengganti istilah “prasejarah” (prehistory) yang sarat dengan bias, dengan “sejarah awal” (early history) tampak sebagai sebuah langkah maju yang logis dan etis.
Istilah “prasejarah” sendiri, yang lahir dari rahim pemikiran Eropa abad ke-19, secara inheren menciptakan sebuah dikotomi: sebuah “pra” yang gelap, statis, dan tak tercatat, yang berdiri sebagai anteseden inferior bagi “sejarah” yang sesungguhnya: sejarah yang ditandai oleh tulisan, negara-bangsa, dan kemajuan linear. Dalam kerangka ini, masyarakat tanpa aksara secara efektif ditempatkan di luar alur waktu, di dalam sebuah “ruang tunggu peradaban”. Niat penulis untuk mengadopsi “sejarah awal” adalah sebuah perlawanan terhadap marginalisasi ini, sebuah upaya untuk memberikan agensi dan temporalitas kepada masa lampau Nusantara berdasarkan kerangka acuan lokal.
Namun, kita harus melampaui analisis niat baik dan menelisik lebih dalam pada cara kerja kuasa (power) yang beroperasi di dalam dan melalui wacana (discourse). Dari kacamata Foucauldian tersebut, pertanyaannya bukanlah sekadar “istilah mana yang lebih adil?”, melainkan “rezim kebenaran” (regime of truth) apa yang sedang kita bongkar, dan rezim kebenaran baru apa yang tanpa sadar sedang kita bangun?”.
Mengganti “prasejarah” dengan “sejarah awal” berisiko menjadi sebuah tindakan yang hanya bersifat kosmetik, sebuah pergeseran leksikal yang gagal membongkar formasi diskursif yang menopang hierarki pengetahuan itu sendiri. Masalahnya tidak terletak pada kata “pra” semata, tetapi pada keseluruhan episteme yang melahirkannya; sebuah cara pandang dunia yang menjadikan “Sejarah” (dengan ‘S’ besar) sebagai sebuah narasi tunggal, universal, dan teleologis yang berpuncak pada modernitas Eropa.
Dengan hanya mengubah label menjadi “sejarah awal”, kita mungkin masih beroperasi dalam kerangka linear yang sama. Kita masih menerima adanya sebuah garis waktu universal di mana periode yang dikaji hanyalah sebuah fase “awal” dari sesuatu yang akan datang “kemudian”, yang secara implisit masih di nilai dari perspektif masa kini.
Lebih jauh lagi, kita harus mewaspadai bagaimana pergantian istilah ini justru dapat mengaburkan, alih-alih menyoroti, relasi kuasa yang bekerja. Michel Foucault dalam Archaeology of Knowledge akan mendorong kita untuk bertanya: apa efek praktis dari perubahan wacana ini? Siapakah subjek yang berbicara, dan dari posisi institusional mana?
Ketika para sejarawan sebagai penjaga gerbang narasi mengadopsi “sejarah awal”, mereka mungkin secara tidak sengaja menegaskan kembali otoritas mereka untuk mendefinisikan dan mengategorikan masa lampau. Ini adalah sebuah pelaksanaan kuasa, sekalipun dilakukan atas nama dekolonisasi. Kuasa tidak dihilangkan, ia hanya didistribusikan kembali dalam sebuah konfigurasi baru.
Istilah “sejarah awal” berisiko menormalisasi dan mengasimilasi periode dan masyarakat yang dipelajari ke dalam disiplin Sejarah, yang secara historis merupakan disiplin yang sangat terikat pada teks. Hal ini dapat secara paradoksal menundukkan metode-metode non-tekstual, seperti arkeologi atau tradisi lisan, di bawah hegemoni metodologi sejarah yang berbasis arsip.
Arkeologi berkembang justru karena ia memiliki objek dan metodologi yang berbeda untuk memahami masa lalu non-tekstual. Dengan melarutkan “prasejarah” ke dalam “sejarah awal”, apakah kita tidak berisiko kehilangan kekhususan dan otonomi perangkat analitis yang dirancang untuk ‘membuat’ kebudayaan materi untuk ‘berbicara’ di luar kerangka naratif tekstual?
Prof. Singgih, seorang ahli sejarah maritim, yang juga adalah salah satu anggota Editor Umum penulisan kembali Sejarah Nasional Indonesia, sempat mengutip Provincializing Europe karya Dipesh Chakrabarty. Ia mengamini Chakrabarty yang menyerukan agar “proyek modernitas tidak boleh menjadi satu-satunya kerangka dalam memahami masyarakat non-Barat.” Dengan mengajukan “sejarah awal”, Guru Besar dari Universitas Diponegoro tersebut justru terjebak dalam proyek “menerjemahkan” masa lalu mereka ke dalam “tata bahasa” Eropa. Konsep seperti waktu yang sekuler dan linear, ruang yang tercerabut dari pesona magisnya, dan negara-bangsa sebagai subjek utama sejarah adalah warisan Pencerahan Eropa yang kini kita anggap universal.
Meskipun niatnya dekolonialisasi, tindakan tersebut masih menerima kerangka acuan utama, yakni sebuah narasi Sejarah yang tunggal dan progresif, yang ditetapkan oleh Eropa. Ia tidak menantang asumsi dasar bahwa masa lalu harus diorganisir dalam sebuah garis waktu yang seragam. “Sejarah awal” tetaplah bagian dari sebuah lintasan yang ujungnya adalah bentuk-bentuk modernitas yang kita kenal sekarang.