Tantangan yang diajukan Chakrabarty justru lebih fundamental: bagaimana menulis sejarah yang bisa mengakomodasi berbagai bentuk temporalitas? Bagaimana memosisikan waktu ritual atau waktu yang bersifat siklis bukan sekadar sebagai objek studi antropologis, melainkan sebagai kerangka yang setara untuk memahami masa lalu? Pergantian istilah ini, sayangnya, menghindari pertanyaan radikal tersebut.
Perspektif yang mungkin paling menantang datang dari Gayatri Chakravorty Spivak, dengan pertanyaannya yang terkenal, “Dapatkah kaum subaltern berbicara?” (Can the Subaltern Speak?). Spivak menyoroti masalah representasi dengan menelisik bagaimana kaum intelektual, bahkan yang paling progresif sekalipun, sering kali melakukan “kekerasan epistemik” (epistemic violence) ketika mereka mencoba “memberi suara” kepada kelompok-kelompok yang termarginalkan (kaum subaltern). Kekerasan ini terjadi karena proses representasi itu sendiri mengharuskan penerjemahan pengalaman subaltern ke dalam bahasa dan kerangka konseptual kaum elite terdidik, yang pada akhirnya justru membungkam dan mendistorsi pengalaman asli tersebut.
Jika kita terapkan pada diskusi ini, Spivak akan mendorong kita untuk bertanya: siapa yang memiliki kuasa untuk mengganti nama masa lampau ini? Jawabannya adalah akademisi dan institusi pengetahuan modern. Ketika mereka menetapkan bahwa masa lalu Nusantara kini disebut “sejarah awal”, mereka bertindak atas nama masyarakat masa lampau tersebut. Apakah tindakan ini benar-benar sebuah pembebasan, atau justru sebuah bentuk lain dari penguasaan, di mana masa lalu yang kompleks dan mungkin non-historis (dalam pengertian kita) dipaksa masuk ke dalam kategori yang rapi dan dapat dikelola oleh disiplin Sejarah modern?
Spivak akan mengingatkan kita bahwa upaya untuk “memulihkan” suara subaltern sering kali merupakan sebuah proyek yang mustahil. Suara sejati dari masyarakat tanpa tulisan itu mungkin selamanya tidak dapat diakses, dan setiap upaya kita untuk merepresentasikannya hanya akan menghasilkan versi yang telah dijinakkan dan disesuaikan dengan kebutuhan wacana kita saat ini.
Bergeser dari sana, kita dapat mendekati masalah ini melalui jalur dekonstruksi Jacques Derrida. Derrida akan memusatkan perhatiannya pada cara kerja oposisi biner yang menopang pemikiran barat, salah satunya adalah oposisi antara tulisan (écriture) dengan ucapan (parole). Secara tradisional, filsafat Barat mengistimewakan ucapan sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan kebenaran, kehadiran, dan kesadaran, sementara tulisan dianggap sekunder, artifisial, dan hanya sebuah representasi dari representasi.
Oposisi biner “sejarah” (berbasis tulisan) versus “prasejarah” (tanpa tulisan) adalah manifestasi sempurna dari apa yang Derrida sebut sebagai ”metafisika kehadiran” (metaphysics of presence). “Sejarah” dipandang sebagai ranah yang “hadir”, penuh dan dapat diketahui secara langsung melalui teks, sementara “prasejarah” didefinisikan oleh “ketiadaannya”, oleh apa yang tidak dimilikinya (tulisan).
Argumen dalam tulisan Prof. Singgih mencoba untuk keluar dari hierarki ini. Namun, Derrida akan menunjukkan bahwa kita tidak bisa begitu saja menghapus atau membalik sebuah oposisi biner tanpa bekas.
Istilah “sejarah awal,” masih memperoleh maknanya dari relasinya dengan apa yang “bukan awal”. Ia masih mempertahankan logika pembedaan dan suksesi. Lebih dari itu, tindakan mencari nama yang “lebih pas” atau “lebih benar” justru mengabaikan poin utama dari dekonstruksi: bahwa setiap upaya untuk menetapkan sebuah makna yang stabil dan final akan selalu gagal. Mendekonstruksi bukanlah menemukan pengganti yang lebih baik, melainkan untuk terus-menerus menunjukkan bagaimana kedua istilah dalam oposisi biner (prasejarah/sejarah) secara inheren saling bergantung dan menghantui satu sama lain, membongkar ilusi bahwa salah satunya bisa berdiri murni tanpa yang lain.
Argumen untuk mengganti “prasejarah” dengan “sejarah awal”, meskipun lahir dari dorongan emansipatoris yang patut dipuji, mungkin hanya memindahkan masalah. Ia menenangkan hati nurani kita dengan ilusi kemajuan, sebuah gestur simbolis yang berisiko meninabobokan kesadaran kritis kita. Meskipun beritikad baik, pergantian istilah tersebut berisiko menjadi sebuah solusi semu yang menyamarkan masalah sesungguhnya: yaitu struktur kekuasaan yang tertanam dalam cara kita berpikir tentang waktu, pengetahuan, dan representasi sejarah itu sendiri.
Proyek dekolonisasi yang sejati menuntut lebih dari itu. Ia menuntut sebuah kewaspadaan genealogis yang konstan terhadap kategori-kategori yang kita gunakan, sebuah dekonstruksi tanpa henti terhadap oposisi biner yang menopang pemikiran kita, sebuah pengakuan atas parokialisme kerangka kerja kita, dan sebuah kerendahan hati yang mendalam dalam menghadapi kebisuan kaum subaltern di masa lalu.
Pada akhirnya, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa proses penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang digagas oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia dan didukung oleh negara melalui Kementerian Kebudayaan RI, adalah sebuah proyek yang problematik. Dikatakan demikian karena diskursus fundamental semacam ini terjadi ketika target penyelesaian proyek sudah semakin dekat; sesuatu yang justru seharusnya dilakukan jauh sebelum outline disusun. Pada titik ini, berhenti mungkin jauh lebih bijak ketimbang meneruskan proyek penulisan ulang yang hanya akan menghabiskan uang negara dengan percuma.
*Penulis adalah Dosen Departemen Arkeologi Unhas, Penerima Beasiswa LPDP RI PK-247, Mahasiswa Doktoral bidang Heritage Studies di University of Antwerp, Belgia.