oleh: Anwar Mattawape*
Pagi itu, di sebuah pasar kecil di pesisir Sulawesi, aroma ikan segar bercampur bau garam dan angin laut. Seorang nelayan baru saja menurunkan keranjang berisi ikan yang masih berkilau. Pembeli datang bergantian, sebagian menawar, sebagian lain langsung membawa pulang untuk dijual kembali.
Namun di sudut pasar, seorang perempuan muda, pemilik usaha olahan ikan, memandang keranjang-keranjang itu dalam diam. Di benaknya muncul satu pertanyaan sederhana yang memicu kegelisahan: mengapa ikan segar dari laut kita hanya dihargai puluhan ribu rupiah, sementara produk olahan ikan bermerek di Eropa dijual ratusan ribu?
Pertanyaan itu, sesungguhnya, adalah gambaran telanjang tentang masalah terbesar ekonomi Indonesia: kita kaya sumber daya, namun miskin nilai tambah.
Ketika Kelimpahan Menjadi Bantal Empuk
Indonesia memiliki laut hangat sepanjang tahun, tanah yang subur, dan keragaman hayati yang membuat banyak negara iri. Kelimpahan ini seperti lengan hangat yang meninabobokan. Kita merasa cukup menjual apa adanya.
Bangsa-bangsa lain yang hidup dalam keterbatasan justru dipaksa berinovasi. Eropa mengembangkan teknik fermentasi, pengawetan, dan standardisasi rasa karena mereka harus bertahan dalam musim dingin. Keterbatasan memicu kreativitas.
Kita, yang selalu diberi, tidak terdesak untuk mencipta.“Keterbatasan memaksa mereka berinovasi; kelimpahan membuat kita lalai.”
Dalam dunia bisnis modern, brand adalah nilai tertinggi. Bukan logo, bukan nama produk, tetapi standar yang melekat pada setiap sentuhan.
Kain tenun Indonesia bisa dihargai jutaan rupiah karena cerita, kesabaran, dan konsistensi kualitas. Sementara tenun pabrikan dengan motif serupa dijual ratusan ribu tanpa jiwa. Nilai bukan pada benangnya, melainkan pada manusia yang membuatnya.
Seperti kata Steve Jobs,“Quality is more important than quantity. One home run is much better than two doubles.” Kualitas lebih utama daripada kuantitas. Satu pukulan “home run” lebih berarti daripada dua pukulan kecil yang aman.
Indonesia, Terlalu Lama Bermain Aman
Indonesia, selama puluhan tahun, bermain aman dengan pukulan kecil. Kita terbiasa berada di zona nyaman sebagai pemasok bahan mentah, menerima keuntungan tipis sambil membiarkan bangsa lain mengubah komoditas kita menjadi produk bernilai tinggi.
Kita bangga ketika volume ekspor meningkat, padahal yang naik hanya jumlah, bukan nilai. Kita memanen, mengirim, dan berhenti di situ. Siklusnya sederhana, cepat, dan tidak memerlukan imajinasi besar.
Bisnis besar tidak lahir dari pola pikir “yang penting laku”. Bisnis besar membutuhkan keberanian melakukan home run, pukulan panjang yang menuntut visi, riset, dan keberanian untuk membangun standar.
Jepang tidak memiliki kakao, tetapi cokelat Meiji dan Royce mendunia. Italia tidak memiliki kopi, tetapi espresso menjadi ikon global. Eropa tidak punya iklim tropis, tetapi mereka menjual wine, butter, keju, parfum, hingga fashion dengan harga yang melesat jauh dari nilai materialnya.
Mereka tidak sekadar memukul bola. Mereka membangun lintasan pukulan panjang yang berisi tradisi, reputasi, dan kepercayaan.
Sementara itu, kita masih berada di pintu paling depan: menjual nikel, rumput laut, kopi, rotan, kakao, ikan. Semuanya dalam bentuk paling mentah.
“Bangsa yang bermain aman akan menjadi pemasok; bangsa yang berani mengambil risiko akan menjadi pemimpin,” ujar seorang ekonom kreatif di Bandung.
Di sinilah garis pembatasnya: bangsa pemenang membangun brand; bangsa tertinggal menjual bahan mentah. Bangsa pemenang menata rasa; bangsa tertinggal bersandar pada alam.
Bangsa pemenang memimpin pasar; bangsa tertinggal mengikuti permintaan pasar.
Manusia: Titik Lemah dan Titik Harapan
Masalah terbesar kita bukan kurangnya sumber daya, melainkan ketidakjelasan arah. Cokelat terbaik dunia datang dari Swiss dan Belgia, negara yang hampir tidak memiliki pohon kakao. Yang mereka miliki adalah manusia dengan visi dan standar tinggi.
Indonesia memiliki sumber daya, tetapi belum memiliki manusia yang membangun rasa dan standar dunia.
Kita butuh pembangunan manusia: keterampilan, pengetahuan, jaringan, sistem bisnis, dan terutama mentalitas untuk tidak berhenti pada zona nyaman.
Seperti kata Steve Jobs, “People don’t know what they want until you show them.” Orang tidak tahu apa yang mereka inginkan sampai kita memperlihatkannya.
Artinya: pasar menunggu arah, bukan sekadar mengikuti permintaan.
Dari Profit ke Impact
UMKM kita selama ini terjebak pada paradigma profit. Padahal level tertinggi bisnis adalah impact.
Starbucks memberi pelajaran besar: yang dibeli bukan kopi, tetapi pengalaman. Orang membeli rasa bangga, rasa nyaman, rasa dimengerti.
Dalam banyak kasus, dampak jauh lebih besar daripada profit jangka pendek. Pengusaha sejati bukan diukur dari margin keuntungan, tetapi dari seberapa besar perubahan yang ia hasilkan bagi lingkungan dan masyarakatnya.
Ketika perempuan muda di pasar pesisir itu menutup lapaknya siang itu, ia berkata perlahan: “Saya ingin membuat brand yang membuat orang bangga membelinya. Bukan sekadar membutuhkannya.”
Kalimat itu sederhana, tetapi ia merepresentasikan kebutuhan bangsa ini.
Indonesia harus keluar dari pola jual-bahan-mentah yang meninabobokan, dan berani mengambil jalan panjang membangun nilai, standar, dan identitas.
Karena masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa luas tanah dan laut yang kita punya, tetapi oleh setinggi apa standar manusia yang mengelolanya.
Seperti diingatkan Jeff Bezos, ‘Your brand is what other people say about you when you’re not in the room.’ Brand adalah reputasi yang tetap hidup bahkan ketika kita tidak berada di sana.
Dan karena itu, tugas kita bukan sekadar menjual apa yang kita temukan di tanah ini, tetapi meninggalkan jejak, menciptakan nilai, dan memberi dampak yang bertahan lama.”
*Anwar Mattawape adalah pengusaha, yang kini menjalankan amanah sebagai Sekretaris Umum IKA Teknik Unhas
undefined



-300x169.webp)




