Opini

Keberhasilan Penetasan Oryzias Matanensis, Harapan Konservasi Ex Situ yang Mematahkan Mitos

MSP

Oleh: Khusnul Yaqin*, Basse Siang Parawansa**, Putri Rahastri Adelia***, Tesalonika Tirsa Rura***
Oryzias matanensis adalah ikan kecil anggota keluarga Adrianichthyidae, pertama kali dideskripsikan oleh Aurich pada tahun 1935. Spesies ini merupakan endemik Danau Matano, sebuah danau tektonik terdalam di Indonesia yang terletak di Sulawesi Selatan. Aurich memberikan deskripsi ilmiah awalnya berdasarkan sampel yang dikoleksi dari lingkungan perairan danau tersebut, menandai salah satu catatan penting dalam eksplorasi biodiversitas perairan Sulawesi. Referensi utama deskripsi spesies ini tercantum dalam publikasi: Aurich, H. J. (1935). "Die Zahnkärpflinge Celebes’." Zoologische Jahrbücher, Abteilung für Systematik, 67: 1–96 [1]. Sejak penemuannya, O. matanensis telah menjadi salah satu simbol penting konservasi biota endemik Danau Matano yang sangat unik secara ekologis.

Oryzias matanensis merupakan spesies endemik Danau Matano yang awalnya dianggap sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga upaya domestifikasinya untuk keperluan penelitian biologi, termasuk studi ekotoksikologi, sering mengalami kegagalan. Kesulitan ini memunculkan semacam mitos di masyarakat bahwa ikan ini “tidak bisa hidup” di luar habitat alaminya. Kecenderungan tersebut tidak hanya mencerminkan keunikan fisiologis dan ekologis O. matanensis, tetapi juga menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti dalam mengembangkan model laboratorium berbasis spesies lokal yang mewakili ekosistem endemik atau melakukan upaya konservasi ex-situ terhadap ikan.  Upaya konservasi ex-situ ini penting karena jika terjadi katastropik terhadap ikan ini karena aktivitas antropogenik pembuangan limbah, pemulihan populasinya bisa dilakukan dengan cepat dan tepat.

Keberhasilan penetasan Oryzias matanensis di luar habitat aslinya merupakan sebuah pencapaian penting yang tidak hanya mencerminkan kemajuan dalam pemeliharaan ikan endemik, tetapi juga menjadi batu loncatan dalam memahami dinamika ekologis dan fisiologis spesies yang selama ini dianggap mustahil untuk didomestifikasi. Di tengah kepercayaan masyarakat sekitar Danau Matano bahwa ikan berukuran kecil ini tidak akan mampu bertahan hidup di lingkungan buatan seperti akuarium, riset yang dilakukan oleh tim TRG (Thematic Research Group Aquatic ecotoxicology) di Laboratorium Fisiologi dan Hewan Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin berhasil membalikkan anggapan tersebut. Keberhasilan ini bukan hanya merupakan hasil dari kecermatan dalam penanganan biologis semata, tetapi juga dari ketekunan dalam mengamati respon ikan terhadap perubahan lingkungan, serta dalam menanggulangi tantangan biologis seperti infeksi parasit, bakteri, dan jamur.

Kepercayaan lokal yang menyatakan bahwa Oryzias matanensis tidak bisa dipelihara di akuarium sebetulnya bukanlah hal yang sepenuhnya keliru, melainkan mencerminkan pengalaman empiris masyarakat yang belum dilengkapi dengan pendekatan ilmiah yang menyeluruh. Dalam banyak kasus, upaya pemindahan ikan dari Danau Matano ke akuarium berujung pada kematian ikan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini telah terjadi berulang kali, sehingga terbentuklah sebuah narasi lokal yang kemudian dipercaya sebagai fakta ekologis mutlak. Namun, ketika fenomena tersebut dikaji secara teliti dari sudut pandang ilmu fisiologi, patologi, dan mikrobiologi perairan, maka terungkaplah berbagai faktor penyebab yang sebelumnya luput dari perhatian.

Salah satu temuan paling penting dari pengamatan laboratorium adalah adanya serangan parasit yang cukup kompleks pada  ikan dari Danau Matano, sehingga setelah dipindahkan ke lingkungan buatan ikan itu mengalami kematian. Secara spesifik, terdapat lima jenis ektoparasit dan satu jenis endoparasit yang menyerang Oryzias matanensis. Ektoparasit menyerang permukaan tubuh dan sirip, sementara endoparasit menyerang insang. Selain itu, infeksi jamur dan bakteri juga terjadi secara simultan, memperparah kondisi fisiologis ikan yang sedang beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam situasi seperti ini, tanpa pengamatan yang jeli dan penanganan yang tepat, tentu saja tingkat mortalitas ikan akan tinggi, sehingga memperkuat anggapan bahwa ikan ini “tidak bisa dipelihara” di luar lingkungan alami yaitu Danau Matano. Bila kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan yang serius, seperti penyediaan teknik  konservasi ex-situ ikan Oryzias matanensis, keberadaan ikan ini bisa terancam punah.

Larva Ikan Oryzias Matanensis. Kredit: Prof.Dr.Ir.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Larva Ikan Oryzias Matanensis. Kredit: Prof.Dr.Ir.Khusnul Yaqin,M.Sc.


Namun, asumsi ini mulai dipatahkan ketika pendekatan ilmiah diterapkan secara konsisten dan terstruktur. Tim TRG (Thematic Research Group Aquatic ecotoxicology) di Laboratorium Fisiologi dan Hewan Air memulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor stres yang dialami ikan selama proses translokasi. Salah satu pendekatan yang sangat efektif adalah dengan melakukan proses aklimatisasi secara bertahap, sekaligus memastikan bahwa kualitas air di akuarium mendekati kondisi fisik dan kimiawi Danau Matano. Di sisi lain, pencegahan dan pengobatan terhadap parasit dilakukan dengan menggunakan metode yang ramah lingkungan dan tidak bersifat toksik bagi ikan, terutama indukan ikan Oryzias matanensis.

Puncak keberhasilan yang menjadi tonggak pencapaian ilmiah adalah ketika indukan Oryzias matanensis tidak hanya bertahan hidup di akuarium, tetapi juga berhasil mencapai tahap fertilisasi. Fertilisasi ini menjadi titik awal dari pembuktian bahwa spesies ini tidak hanya bisa hidup, tetapi juga berkembang biak di lingkungan buatan, asalkan seluruh kebutuhan biologis dan ekologisnya terpenuhi secara seksama. Embrio yang terbentuk kemudian dipelihara dalam larutan ERM (E3 embryo rearing medium), yang mengandung nutrien dan stabilitas ionik yang mendukung perkembangan embrionik. Selama sembilan hari masa inkubasi, embrio mengalami perkembangan yang stabil dan sehat hingga menetas menjadi larva.

Keberhasilan penetasan ini merupakan bukti empiris bahwa Oryzias matanensis sesungguhnya memiliki potensi untuk dibudidayakan, asalkan tantangan utama dalam tahap awal translokasi dan adaptasi dapat diatasi. Dengan menyingkap penyebab utama dari kegagalan sebelumnya—yakni serangan parasit, infeksi bakteri dan jamur—kita dapat merancang strategi pemeliharaan yang lebih presisi dan berlandaskan ilmu. Hal ini membuka peluang besar untuk konservasi ex-situ dan penelitian lanjutan yang dapat mengungkap aspek-aspek baru dari fisiologi, genetika, serta perilaku reproduksi spesies ini.

Lebih dari itu, keberhasilan ini juga memiliki makna sosial yang mendalam. Di tengah tantangan pelestarian keanekaragaman hayati yang dihadapi Indonesia, terutama di wilayah Wallacea yang kaya spesies endemik, riset semacam ini menjadi bukti nyata bahwa sinergi antara pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan modern dapat membuahkan hasil yang luar biasa. Kita tidak perlu menafikan kepercayaan masyarakat, tetapi justru menjadikannya sebagai dasar untuk melakukan pendekatan ilmiah yang lebih peka terhadap pengalaman dan kearifan lokal.

Pada saat yang sama, keberhasilan ini juga menjadi titik awal untuk menjawab berbagai pertanyaan penting terkait konservasi spesies endemik. Apakah Oryzias matanensis dapat dikembangkan dalam skala lebih besar sebagai bagian dari program restocking atau reintroduksi yang merupakan rangkaian dari program konservasi ex-situ? Bagaimana strategi terbaik untuk menjaga integritas genetik ikan ini selama dibudidayakan di luar habitat aslinya? Apakah kita bisa mengembangkan teknik pembiakan yang stabil secara generatif dan melalui teknik stem cell ? Teknik dengan stem cell Sudah dilakukan secara ekstensif pada O. latipes dan O. melastigma:  Lini sel ES-like dikembangkan sejak 1994–2024, haploid ESC (hMMES1) terbukti mampu membentuk chimera dan berdiferensiasi menjadi berbagai jaringan, dan teknik PGC transplantation (pemindahan sel germinal) juga menunjukkan keberhasilan dalam menciptakan ikan transgenik atau semi-klon.

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk mengembangkan pendekatan konservasi yang adaptif di era perubahan iklim dan tekanan antropogenik-industri yang terus meningkat.

Dari perspektif ilmiah, keberhasilan ini juga memperluas cakrawala penelitian dalam bidang fisiologi ikan, mikrobiologi akuakultur, dan ekotoksikologi perairan. Oryzias matanensis dapat menjadi model organisme yang sangat potensial untuk studi-studi ekotoksikologi, uji senyawa farmakologis, hingga analisis genetik populasi. Karena spesies ini berasal dari lingkungan ekstrem dengan kadar logam tertentu dan kejernihan air yang sangat tinggi, maka adaptasi fisiologis yang dimilikinya dapat menjadi sumber data yang sangat berharga. Bahkan, embrio dan larva Oryzias matanensis dapat dikembangkan sebagai sentinel organism untuk mengasesmen kualitas ekosistem perairan, menggantikan atau melengkapi model-model organisme yang selama ini digunakan.

Dalam konteks lebih luas, keberhasilan pemeliharaan dan penetasan ini juga menyumbang pada penguatan kapasitas laboratorium dan pengembangan SDM di bidang perikanan dan kelautan. Mahasiswa dan peneliti yang terlibat dalam riset ini tidak hanya memperoleh pengalaman teknis, tetapi juga membangun kepekaan ekologis dan etika ilmiah yang tinggi. Mereka belajar bahwa keberhasilan ilmiah bukan semata-mata hasil dari kecanggihan teknologi, tetapi lebih dari itu, merupakan buah dari ketekunan, observasi mendalam, dan kesediaan untuk terus belajar dari alam.

Secara keseluruhan, keberhasilan ini bukan sekadar pencapaian laboratorium, tetapi sebuah narasi transformasi ilmiah dan kultural. Ia menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat, bila digali secara ilmiah, justru dapat menjadi pintu masuk untuk penemuan baru. Ia juga membuktikan bahwa spesies-spesies yang dianggap rapuh atau sensitif, sesungguhnya memiliki ketahanan biologis yang luar biasa, selama manusia mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai dan bebas dari tekanan tambahan. Ke depan, riset ini diharapkan menjadi pondasi untuk program konservasi terpadu yang tidak hanya menyelamatkan spesies, tetapi juga memperkuat hubungan antara manusia dan alam melalui sains yang membumi dan berdampak langsung.

Jika penelitian ini terus dilanjutkan dan dikembangkan, bukan tidak mungkin Oryzias matanensis akan menjadi spesies kunci dalam upaya pelestarian ekosistem Danau Matano, bahkan mungkin menjadi simbol keberhasilan kolaborasi antara kearifan lokal dan ilmu empiris dalam menjaga kekayaan hayati Indonesia. Keberhasilan ini menjadi cermin bahwa ketika manusia mau belajar dari alam, mendengarkan suara masyarakat, dan memadukan keduanya dalam kerangka ilmiah yang kuat, maka tidak ada batas bagi apa yang dapat dicapai.

Pustaka

[1] Aurich H J 1935 Zoologische Jahrbücher  Abteilung für Systematik, Geographie und Biologie der Tiere vol Bd.1 (1886 (Jena [Germany]: G. Fischer)

[2]. Keterangan tambahan klik link video youtube:
https://youtube.com/shorts/W04tgIpruFI?si=39HMVwk6olJVGcLW


Keterangan Penulis:

*   Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Unhas
**  Dosen Manajemen Sumber Daya Perairan,FIKP-Unhas
*** Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan, FIKP-Unhas