Opini

Arafah dan Puncak Tauhid: Perspektif Irfan

ok

Oleh: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag*

Hari Arafah bukan sekadar momentum ritual dalam ibadah haji, tetapi merupakan puncak dari perjalanan eksistensial manusia menuju makrifatullah. Dalam perspektif irfan (mistisisme Islam filosofis), Arafah bukan hanya tempat dan waktu, melainkan simbol dari kesadaran tauhid yang paripurna. Artikel ini membahas makna Arafah dalam kacamata irfan sebagai puncak perjumpaan ruhani manusia dengan kehadiran Ilahi, yang dicapai melalui penyucian batin dan penyingkapan hakikat diri.

Dalam tradisi Islam, hari Arafah memiliki makna mendalam. Ia bukan hanya menjadi penanda penting dalam rangkaian haji, tetapi juga mengandung nilai-nilai teologis, spiritual, dan eksistensial. Secara historis, Arafah adalah tempat di mana Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad menerima wahyu penting, dan menjadi simbol dari mawqif (berhenti dan merenung) atas segala perjalanan hidup manusia.

Namun, dalam pandangan irfan, Arafah dilihat sebagai momen kosmis: pertemuan antara manusia yang fana dengan Tuhan Yang Maha Abadi. Arafah bukan hanya tentang keberadaan fisik di padang pasir, tetapi tentang pencapaian spiritual yang meleburkan ego dalam samudra tauhid.

Arafah sebagai Simbol Perjalanan Ruhani

Para arif (sufi dan filsuf mistik) memandang Arafah sebagai titik balik perjalanan spiritual. Dalam bahasa irfan, manusia pada dasarnya adalah musafir ilallah — pengembara menuju Tuhan. Hari Arafah menandai titik puncak dalam perjalanan itu, yakni wuquf — sebuah keadaan diam, berdiri, dan menanti — yang bukan hanya secara fisik, tetapi simbolis dari ta’alluq (ketergantungan total) pada Tuhan.

Bayazid al-Bustami, seorang sufi agung dari Persia, pernah berkata setelah menunaikan haji:

“Aku telah mengelilingi Ka'bah, namun aku tidak menemukan Ka'bah. Yang kutemukan adalah Tuhan yang telah mengelilingiku sejak awal.”

Dalam satu kisah, ketika ia ditanya mengapa ia tidaki menangis saat wuquf di Arafah, Bayazid menjawab dengan tenang:

“Tangis adalah tanda kerinduan. Sedang aku telah tenggelam dalam pertemuan.”

Kisah ini menggambarkan bahwa bagi para sufi, Arafah bukan sekadar tempat ritual, tapi ruang batin di mana jiwa larut dalam tauhid. Mereka tidak menunggu Tuhan datang, sebab Tuhan sudah senantiasa hadir — hanya tabir diri yang menghalangi penyaksian.

Tauhid dalam Irfan: Dari Pengetahuan Menuju Penyaksian

Tauhid dalam irfan bukan hanya pengakuan intelektual terhadap keesaan Tuhan, tetapi penyaksian (mushahadah) yang lahir dari tajalli — penyingkapan Ilahi dalam hati yang suci. Pada hari Arafah, seorang arif tidak hanya menyebut “Labbayk Allahumma Labbayk” dengan lisannya, tetapi jiwanya turut bergema memanggil Tuhan dari kedalaman cinta dan kerinduan.

Kisah Rabi'ah al-Adawiyah dan Puncak Tauhid

Rabi'ah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan dari Basrah, menggambarkan cinta ilahiah sebagai bentuk tauhid tertinggi. Dalam satu malam Arafah, ia bermunajat:

“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena surga, tutuplah pintu surga dariku. Tapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau adalah Engkau, maka jangan Kau jauhkan aku dari kehadiran-Mu.”

Munajat Rabi'ah menjadi cermin dari tauhid hakiki — bukan berdasarkan pahala atau siksa, melainkan karena kesadaran akan keindahan Tuhan sebagai tujuan itu sendiri.

Hari Arafah adalah waktu terbaik untuk mengenal diri sendiri dan terhubung dengan Tuhan. Kredit:IRNA
Hari Arafah adalah waktu terbaik untuk mengenal diri sendiri dan terhubung dengan Tuhan. Kredit:IRNA


Doa Arafah: Cermin Makrifat Diri dan Ilahi

Bahwa tak ada dualitas wujud dalam dunia cinta. Cinta akan meniadakan wujud pecinta, dan menyisakan satu wujud saja, yaitu wujud kekasih. Cinta membutakan mataj kekasih dari selain kekasih, hingga pecinta tak lagi melihat yang lain selain kekasihnya semata. Seperti kata Ali bin Abi Tholib, tidaklah aku melihat sesuatu, kecuali sebelum, bersama dan sesudah sesuatu tersebut, aku melihat Tuhan. Tauhid para pecinta adalah tiada kehendak selain kehendak kekasih, tiada yang disaksikan kecuali wujud kekasih. Di hadapan kekasih, pecinta membudak, kehilangan kehendak.Saat itu, ia akan berkata seperti kata Al-khallaj, ana alhaq wa alhaqq ana. "aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku" merupakan penafian eksistensi dan kehendak diri, sekaligus penegasan eksistensi dan kehendak kekasih.Kemanakah Al-khallaj ketika kata-kata "ana alhaq wa alhaq ana" mengalir dari lisannya? Sungguh, Al-khallaj telah tiada saat itu. Ungkapan tersebut bukan kehendaknya, bukan pula ucapannya, tapi kehendak dan ucapan Al haq. Ribuan tahun sebelum Al-Hallaj, di Padang Arafah, Al-husain mengajarkan puncak tauhid para pecinta. Salah satu dari dua pemuda ahli syurga itu bermunajat (Alfyt Lyceum, 2023).

Doa Imam Al Husain di hari Arafah menjadi teks paling kuat yang mencerminkan perjalanan irfan. Di dalamnya, beliau mengungkapkan kesadaran akan kehinaan diri di hadapan Tuhan, keajaiban penciptaan, dan kerinduan pada keabadian.

Sayyidnya pemuda surga itu berbunyi:

أَيَكُونُ لِغَيْرِكَ مِنَ الظُّهُورِ مَا لَيْسَ لَكَ، حَتَّى يَكُونَ هُوَ الْمُظْهِرَ لَكَ؟

مَتَى غِبْتَ حَتَّى تَحْتَاجَ إِلَى دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَيْكَ؟

وَمَتَى بَعُدْتَ حَتَّى تَكُونَ الْآثَارُ هِيَ الَّتِي تُوصِلُ إِلَيْكَ؟

Tuhan, apakah ada wujud yang jelas selain wujud-Mu, hingga ia menjadi penjelas wujud-Mu?

Kapan Engkau ghoib, hingga dibutuhkan dalil yang memperlihatkan wujud-Mu

Kapan Engkau jauh, hingga dibutuhkan perantara menuju-Mu".

Lihatlah, dalam pandangan Al-husain, tak ada wujud yang jelas selain wujud-Nya. Tuhan hadir di setiap entitas, dan Al-husain menyadari dan menyaksikan itu. Al-husain tidak berkata, tidak ada wujud yang LEBIH jelas dari Tuhan. Sebab itu mengafirmasi adanya wujud lain yang juga jelas, tapi tidak lebih jelas dari Tuhan.

Al-husain berkata, tidak ada yang JELAS selain Tuhan. Artinya, hanya Tuhan semata yang jelas, selain-Nya adalah ketidakjelasan. Dalam bahasa sufistik, ciptaan adalah manifestasi wujud Pencipta, sedang manifestasi adalah bayangan. Adakah bayangan yang lebih jelas dari pemilik bayangan? Bayangan adalah kefaqiran, adalah kebergantungan. Di hadapan pemilik bayangan, bayangan adalah ketiadaan, tak memiliki kehendak. Kita hanya bebendaan, tak bercahaya secara esensial. Kita menampak, berkat cahaya. ( Alfyt Lyceum, 2023)

Doa ini bukan hanya ratapan spiritual, melainkan puncak kesadaran irfani, di mana semua jalan menunjukkan bahwa Tuhan lebih dekat dari segala kedekatan. Di Arafah, doa bukan sekadar permintaan duniawi, tetapi percakapan penuh cinta antara pecinta dan Kekasihnya.

Arafah sebagai Cermin Diri dan Pintu Tauhid

Hari Arafah dalam pandangan irfan adalah momentum langka untuk menyingkap tirai-tirai batin dan memasuki ruang kehadiran Tuhan. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju tauhid bukan hanya ritual, tetapi perjalanan batin yang dalam dan penuh kesadaran.

Dalam dunia yang hiruk pikuk dengan ego dan kemelekatan, Arafah datang mengajak manusia untuk berhenti, merenung, dan kembali pada hakikat penciptaannya. Ia adalah cermin tempat kita melihat wajah kita yang sejati — bukan wajah duniawi, tetapi wajah ruhani yang selalu rindu pada Sang Sumber.

*Penulis adalah ASN Kemenag Maros