News

Kisah Mantan Pekerja Hiburan Malam: Saya Butuh Uang dan Cuma itu Pilihannya

MAKASSAR, UNHAS.TV — Hidup tak selalu memberi pilihan yang mudah. Bagi RR (inisial), seorang perempuan asal Makassar, perjalanan hidupnya adalah kisah panjang tentang kehilangan, perjuangan, stigma, dan kebangkitan. Dua puluh tahun lamanya ia menyandang status janda, membesarkan tiga anak laki-lakinya seorang diri, dan berjuang keluar dari dunia hiburan malam yang sempat menjadi satu-satunya sumber penghidupan.

"Saya mulai menjanda tahun 2009. Anak-anak waktu itu masih kecil, ada yang TK dan SD. Mau tidak mau saya harus kerja karena mereka butuh makan dan sekolah," kenangnya pelan.

Awalnya, RR berusaha mencari pekerjaan yang layak. Ia pernah bekerja di toko sejak muda, namun setelah menikah dan kemudian berpisah, pintu rezeki terasa tertutup rapat. 

"Waktu itu di Makassar, kalau mau kerja harus ada orang dalam. Saya coba melamar lagi di toko lama, tapi tidak diterima, karena katanya yang sudah bersuami tidak bisa lagi kerja di situ," tuturnya.

Di tengah tekanan ekonomi dan keputusasaan, seorang teman menawarinya pekerjaan sebagai SPG minuman. "Saya pikir seperti jualan yakult atau minuman biasa," ucap RR. Tapi kenyataan berkata lain. Saat diantar ke lokasi, barulah ia sadar bahwa tempat yang dimaksud adalah sebuah tempat hiburan malam.

"Saya kaget, ternyata itu tempat hiburan malam. Tapi waktu itu saya sudah tidak punya pilihan. Saya butuh uang, saya harus kasih makan anak-anak. Akhirnya saya terima," ujarnya lirih.

Malam demi malam, RR menjalani hidup di bawah cahaya lampu klub dan dentuman musik yang tak pernah berhenti. Ia bekerja dengan penuh tekanan — menjadi pemandu tamu, menuangkan minuman, bahkan bernyanyi demi tambahan uang tip. 

"Awalnya berat, tapi lama-lama saya merasa nyaman karena setiap malam selalu dapat uang. Kalau saya nyanyi, saya dibayar. Kalau menuangkan minuman, saya dibayar. Bahkan kalau disuruh minum, saya dibayar," katanya dengan jujur.

Namun, di balik uang yang datang setiap malam, batinnya terus tergerus. Ia tahu, hidupnya jauh dari harapan anak-anak dan orang tuanya. "Saya sadar anak-anak makin besar. Saya takut kalau nanti teman-teman sekolah mereka tanya, ‘mamamu kerja apa?’ Masa mereka harus jawab mamanya kerja di tempat hiburan malam? Saya tidak mau anak-anakku malu karena saya," ucap RR, suaranya mulai bergetar.

Kesadaran itu menjadi titik balik. Ia memutuskan berhenti dan berhijrah. "Saya berhenti, saya hijrah. Yang dulu tidak berhijab, akhirnya saya berhijab. Saya mau berubah," katanya.

Keputusan itu membawanya ke jalan baru. Seorang teman mengenalkannya pada sebuah program penanggulangan HIV/AIDS. RR pun bergabung sebagai relawan lapangan, belajar tentang pencegahan dan pengobatan HIV, serta menjadi pendamping bagi komunitas yang rentan. 

"Saya banyak belajar dari pelatihan dan pertemuan. Saya belajar bagaimana cara mengedukasi teman-teman agar tidak takut, agar tahu caranya melindungi diri," katanya.

Ia pun mulai aktif berbagi pengetahuan, bahkan mengedukasi anak-anak muda di sekolah-sekolah. "Saya kasih tahu bahwa tidak semua pekerja hiburan malam itu menjajakan dirinya. Banyak yang hanya ingin mencari nafkah dengan cara yang mereka bisa," tuturnya dengan tegas.

Namun masa lalunya tidak mudah dilupakan oleh lingkungan sekitar. RR kerap menjadi sasaran stigma dan cemoohan. "Saya sering dipanggil ‘perempuan sampah’, ‘penyebab virus’, bahkan ada yang bilang saya pengambil laki orang. Tapi saya tidak peduli, karena saya tidak pernah minta sesuap nasi dari mereka. Saya bisa menghidupi diri saya sendiri," katanya lantang.

Meski begitu, bukan berarti ia tak pernah tersakiti. Dalam diam, ia menyimpan luka-luka yang tak terlihat. "Setiap malam saya menangis. Tempat terbaik itu adalah merenungi diri sendiri. Saya selalu bertanya pada Tuhan, sampai kapan saya begini, sampai kapan saya kuat sendiri. Tapi saya sadar, kalau bukan saya yang membangkitkan diri saya, siapa lagi," ucapnya lirih, menahan air mata.

RR juga pernah mengalami pelecehan di tempat kerja lamanya. Ia bercerita bagaimana dirinya harus melawan tamu yang mencoba menyentuhnya tanpa izin. "Saya pernah pukul orang pakai botol sampai berdarah, karena dia paksa sentuh saya. Saya memang kerja di tempat hiburan, tapi bukan berarti saya harus disentuh. Saya bukan milik siapa-siapa. Saya kerja untuk hidup, bukan untuk dijual," tegasnya.

Kini, setelah lebih dari satu dekade meninggalkan dunia malam, RR justru menjadi sosok yang disegani di komunitasnya. Ia menjabat sebagai sekretaris di sebuah organisasi pendamping ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan aktif mengedukasi masyarakat. 

"Dulu anak saya malu kalau ditanya mamanya kerja apa. Sekarang mereka bisa bilang mamanya kerja di kesehatan. Itu kebanggaan buat saya dan buat mereka," ucap RR tersenyum.

Di tengah kesibukan mengurus organisasi, RR masih menyimpan satu harapan: memiliki pendamping hidup di masa tuanya. "Saya bersyukur Tuhan sudah pertemukan saya dengan orang-orang baik, termasuk sahabat saya Karla, koordinator di sini. Tapi saya juga berdoa semoga suatu hari nanti Tuhan pertemukan saya dengan jodoh yang bisa menemani masa tua saya. Anak-anak nanti akan punya kehidupan sendiri, saya tidak mau mengganggu mereka," katanya pelan.

Bagi RR, perubahan hidupnya bukan hanya tentang hijrah, tapi tentang menemukan harga diri kembali. Dari dunia malam yang penuh gemerlap semu, kini ia berdiri di bawah cahaya baru — cahaya pengetahuan, kepedulian, dan pengabdian.

"Saya hanya ingin menjaga nama baik anak-anak dan orang tua saya. Kalau dulu saya dikenal karena tempat saya bekerja, sekarang saya ingin dikenal karena kebaikan yang saya lakukan," ujarnya menutup wawancara, dengan mata yang berkaca-kaca.(*)

Rahmatia Ardi & Aminah Rahma Ahmad (Unhas TV)