UNHAS.TV - Suhu tubuh yang menurun drastis bukan hanya soal rasa tidak nyaman. Dalam kondisi tertentu, ini bisa menjadi ancaman serius bagi nyawa.
Hipotermia, kondisi ketika suhu tubuh turun di bawah 35 derajat Celsius, seringkali dianggap sepele—padahal bisa berujung fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Hipotermia terjadi saat tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada kemampuannya menghasilkan panas. Dalam keadaan normal, suhu tubuh manusia berkisar antara 36,5 hingga 37,5 derajat Celsius.
Penurunan suhu di bawah ambang batas tersebut bisa mengganggu kerja organ vital dan dalam kondisi parah, menyebabkan kehilangan kesadaran hingga kematian.
“Tubuh kita punya mekanisme menjaga suhu ideal,” jelas dr M Harun Iskandar SpPD SpP(K), dokter spesialis paru. “Kalau suhunya turun di bawah 35 derajat, maka itu sudah masuk kategori hipotermia. Harus segera ditangani.”
Gejala awal hipotermia sering kali tak disadari. Tubuh menggigil, kulit pucat, dan merasa sangat lelah bisa menjadi tanda awal.
Dalam fase yang lebih berat, korban bisa mulai mengalami penurunan kesadaran, bicara tidak jelas, hingga detak jantung yang melambat. Sayangnya, gejala ini sering keliru dianggap sebagai kelelahan biasa.
.webp)
Kondisi ini kerap terjadi pada pendaki gunung atau wisatawan yang mengunjungi tempat bersuhu rendah tanpa persiapan memadai. Namun, menurut dr. Harun, siapa pun bisa mengalami hipotermia, termasuk masyarakat perkotaan.
“Di rumah pun bisa terjadi, terutama pada bayi dan lansia. Sistem pengaturan suhu tubuh mereka belum atau tidak lagi sekuat orang dewasa,” tambahnya.
Pencegahan menjadi langkah utama untuk melindungi diri dari hipotermia. Perencanaan matang sebelum melakukan perjalanan ke daerah dingin, pemilihan pakaian berlapis, jaket tahan air, serta pelindung kepala, tangan, dan kaki sangat krusial.
“Identifikasi dulu ke mana kita akan pergi,” kata dr. Harun. “Kalau ke tempat dingin, siapkan pakaian yang menyerap di dalam dan tahan air di luar. Jangan sampai lupa pelindung untuk bagian tubuh yang mudah kehilangan panas seperti kepala dan kaki.”
Menjaga daya tahan tubuh juga penting. Makan makanan bernutrisi, tetap terhidrasi, dan menghindari bepergian dalam kondisi tubuh tidak fit bisa mengurangi risiko.
Dalam kondisi darurat, penting untuk segera mencari tempat hangat, menambah lapisan pakaian, dan memberikan minuman hangat untuk membantu menaikkan suhu tubuh.
Hipotermia tidak memandang usia. Bayi dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan. Dalam suhu dingin ruangan tanpa pemanas yang memadai, risiko hipotermia tetap ada, terutama jika tubuh tidak cukup terlindungi.
Menurut catatan medis, kasus hipotermia di Indonesia masih sering tidak terdiagnosis dengan tepat. Kurangnya kesadaran masyarakat dan minimnya literasi medis tentang gejala dan penanganan pertama menyebabkan kondisi ini dianggap biasa atau terlambat disadari.
Sebagai langkah edukatif, para tenaga kesehatan mendorong pentingnya literasi mengenai hipotermia, termasuk tanda-tandanya dan cara menanganinya. Terutama bagi komunitas pecinta alam, orang tua dengan bayi kecil, serta keluarga dengan anggota lansia.
Dalam suhu dingin, nyawa bisa terancam dalam hitungan jam—atau bahkan menit. Maka dari itu, memahami dan waspada terhadap hipotermia bisa menjadi langkah sederhana yang menyelamatkan hidup. “Lebih baik mencegah daripada merawat dalam keadaan darurat,” tutup dr. Harun.
(Rahmatia / Muh. Syaiful / Unhas.TV)