Internasional

Ironi Punya Banyak Anak di China, Dulu Didenda, Kini Diberi Subsidi

MAKASSAR, UNHAS.TV - Zane Li masih ingat, ketika masih berusia 9 tahun, ia sudah punya adik baru. Adik baru, seharusya adalah rahmat bagi keluarga yang tinggal di kota kecil di utara China.

Tetapi, kebijakan Pemerintah China yang membatasi satu keluarga hanya boleh punya satu anak, justru membawa penderitaan baru. Orangtuanya kena denda 100 ribu Yuan atau setara dengan Rp 227 juta. Ini angka yang sangat besar untuk keluarga yang mengandalkan penghasilan dari berjualan ikan. Angka itu sama dengan penghasilan dikumpulkan selama tiga tahun.

Kini Lia sudah punya keluarga. Pengalaman masa kecilnya menyadarkan untuk memilih tidak punya anak. Apalagi biaya hidup di China sudah sangat mahal. Jangankan untuk berlibur, hidup secukupnya sudah  pencapaian yang patut disyukuri.

Gaya hidup tak punya anak ternyata punya dampak besar di kemudian hari. Pemerintah China khawatir, penurunan jumlah angka kelahiran bisa merontokkan perekonomian.

Lalu, Pemerintah China berbalik arah. Kini muncul subsidi khusus untuk keluarga yang mau punya anak. Jumlahnya sekitar 3.600 Yuan (setara Rp Rp 8,3 juta) sebulan untuk setiap anak. Subsidi ini diberikan hingga anak itu berumur tiga tahun dan efektif berjalan sejak awal tahun ini.

Subsidi ini kelihatan menarik tetapi tidak banyak yang tertarik. 

Biaya yang dikeluarkan tiap keluarga untuk membesarkan anak hingga berusia 18 tahun justru lebih mahal, rata-rata 538 ribu Yuan (setara Rp 1.23 miliar) per tahun. Biaya terbanyak untuk makanan dan pendidikan. 

Data dari YuWa Population Research Institute yang bermarkas di Beijing menunjukkan, angka pengeluaran keluarga terus meningkat. Biaya termahal berada di Beijing yang mencapai 1 juta Yuan, nomor dua di Beijing sebesar 936 ribu Yuan.

"Punya anak makin berat di China. Anak saya kemungkinan tidak akan bisa hidup layak," ujar Li yang kini berupaya menyelesaikan pendidikan doktoralnya.

Pemerintah China pun berada dalam dilema. Angka kelahiran menurun dan di sisi lain jumlah lansia makin banyak. Perekonomian yang ditunjang tenaga kerja yang banyak bisa hancur jika fenomena ini terus berlanjut.

Sebelumnya pada 2016, Pemerintah China memberlakukan aturan satu keluarga satu anak. Lalu diubah menjadi boleh punya dua anak dan tahun 2021 diubah lagi menjadi boleh punya tiga anak.

Professor bidang sosiologi dan demohgrafi di Yale University, Emma Zang, menyebut menyebut isu penurunan angka kelahiran adalah fenomena paling serius yang kini dihadapi pemimpin China. Walaupun kebijakan subsidi itu sudah ditambahkan dengan pengurangan pajak dan fasilitas kemudahan memiliki rumah, tampaknya belum juga bisa mendorong keluarga muda mau punya anak.

Lalu, pada akhirnya, China akan ikut dengan masalah yang dihadapi Jepang dan Korea Selatan. Angka kaum muda menurun di saat mesin perekonomian lagi butuh asupan energi dari mereka.

"Kaum muda di China tak hanya risau dengan biaya hidup. Mereka juga khawatir dengan masa depan mereka, tekanan sosial yang tinggi, dan jaminan pekerjaan yang tidak menentu," kata Zang.

Sebagai contoh, banyak anak muda di China yang bergelar pendidikan magister dan doktoral justru tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Beberapa di antaranya berakhir sebagai pelayan restoran, atau pengantar makanan.(*)