MAKASSAR, UNHAS.TV - Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin menggelar Monthly Discussion atau diskusi bulanan dengan tema krusial “Dari Serangan ke Skala Perang: Menakar Kemampuan dan Potensi Kehancuran Perang Israel-Iran”, Selasa (24/6/2035).
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Senat HI Unhas ini menghadirkan narasumber dosen dan pengamat politik luar negeri dari Unhas Agussalim SIP MIRAP.
Tema yang dipilih ini sejalan dengan meningkatnya ketegangan kawasan Timur Tengah yang saat ini tak lagi bersifat insidental, namun telah mengarah ke potensi konflik regional terbuka.
Dalam pemaparannya, Agussalim menjelaskan eskalasi yang dimulai dengan serangan udara Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran. Serangan ini dianggap tidak sah secara hukum internasional karena dilakukan tanpa dasar dari hukum perang (jus in bello) maupun mandat internasional.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan misil balistik ke wilayah Israel. Serangan tersebut lebih dari sekadar simbolis; kali ini, Iran menunjukkan kemampuan ofensif yang serius, menimbulkan kerusakan signifikan di beberapa titik, termasuk infrastruktur vital.
Namun konflik tidak berhenti pada dua negara ini saja. Amerika Serikat kemudian masuk ke arena konflik dengan menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran, yang kemudian dibalas oleh Iran dengan serangan ke pangkalan militer AS di Qatar, tepat 12 jam sebelum diskusi ini berlangsung.
Agussalim menekankan bahwa serangan beruntun ini menandai transisi dari konflik bilateral menjadi konflik regional yang terstruktur.
Bahkan, pemerintah Iran dikabarkan telah menyetujui penutupan Selat Hormuz, jalur vital 20% perdagangan minyak dunia. Bila langkah ini terealisasi, dunia bisa menghadapi krisis energi dan ketegangan geopolitik yang jauh lebih luas.
Serangan Israel yang menargetkan tidak hanya militer tetapi juga ilmuwan dan pejabat tinggi Iran telah memberikan pukulan politik dalam negeri yang tidak kecil. “Iran agak goyah. Ini bukan hanya soal militer, tapi juga tekanan terhadap struktur elite politik,” ujar Agussalim.
Israel sendiri juga tidak luput dari dampak psikologis dan sosial. Meskipun sistem early warning dan perlindungan bunker mereka tergolong canggih, masyarakat Israel mengalami ketidakpercayaan terhadap kemampuan negara.
Ini memicu eksodus warga Israel ke luar negeri—bahkan menyebabkan penutupan jalur udara nasional sementara waktu.
Keterlibatan Amerika dan Peran AIPAC
Sementara itu, Amerika Serikat yang awalnya mengambil posisi pasif, namun belakangan menurut Agussalim, AS terlibat langsung.
Yang menjadi perhatian, AS tidak memiliki legitimasi internasional yang kuat untuk menyerang Iran, baik dari PBB maupun konsensus global lainnya.
Hal ini memunculkan spekulasi tentang pengaruh lobi pro-Israel seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) terhadap kebijakan luar negeri AS.
AIPAC dikenal sebagai salah satu kelompok lobi politik terkuat di Washington, yang secara aktif mendorong kebijakan yang pro-Israel, termasuk pendanaan militer dan perlindungan diplomatik di forum internasional. Peran AIPAC dalam eskalasi ini, menurut Agussalim, sangat signifikan.
Baik serangan Israel maupun balasan Iran dianggap memiliki dimensi simbolik yang kuat. Agussalim menyebut, “Jika Iran tidak membalas, maka pemerintah akan kehilangan legitimasi di mata publiknya sendiri, dan kelompok-kelompok garis keras akan mengambil alih narasi.”
Oleh karena itu, serangan ke pangkalan militer AS di Qatar pada pagi hari lebih dimaknai sebagai sinyal kekuatan internal dan eksternal, ketimbang operasi militer penuh.
Diskusi juga membedah konflik ini menggunakan tiga pendekatan utama dalam teori Hubungan Internasional.
Agussalim menutup dengan menekankan bahwa dunia internasional kini berada di titik kritis. “Jika tidak ada upaya diplomatik aktif dari kekuatan besar dan PBB, perang ini bisa menjalar melampaui Timur Tengah. Dan seperti sejarah mengajarkan, konflik regional bisa jadi cikal bakal perang dunia.”
Diskusi ini membuka ruang akademik untuk memahami dinamika konflik internasional secara komprehensif dan menjadi refleksi penting bagi mahasiswa dan pemangku kebijakan luar negeri Indonesia.
(Rizka Fraja / Zulkarnaen / Unhas.TV)