Unhas Figure

Jamaluddin Jompa, Bukan Sekadar Rektor

Sore itu, Agustus 2023, nama Jamaluddin Jompa dipanggil. Ia berjalan ke panggung di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie Jakarta. 

Di hadapan pejabat, ilmuwan, dan hadirin yang berbaris rapi, ia menerima penghargaan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture. Senyumnya tenang, seperti pelaut yang baru saja selesai menempuh gelombang panjang, dan kini berdiri di dermaga.

Ia berbicara singkat. Tapi kalimatnya seperti berasal dari tempat yang jauh. “Kita rawat komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai benua maritim,” katanya.

Ada gema janji lama dalam suara itu. Bukan sekadar ucapan seremonial, tapi semacam sumpah seorang anak laut kepada tanah airnya.

Jamaluddin Jompa, yang kerap disapa Prof. JJ, memang bukan sekadar rektor. Ia seorang ilmuwan dengan jejak panjang dan reputasi dunia. Rekam jejaknya bisa diringkas dengan angka-angka: H-Index 40, i10 Index 102, dan lebih dari 9.400 sitasi. 


Dalam daftar pemeringkatan global, namanya tercatat di urutan 191 peneliti terbaik Indonesia dan 147.692 di dunia. Di Universitas Hasanuddin, ia duduk di posisi kedua untuk capaian akademik.

Di banyak kampus lain, para rektor adalah politisi yang pandai melobi demi jabatannya. Namun Prof. JJ adalah seorang akademisi tulen, yang punya jejak mentereng di panggung keilmuan. Dia tipe pembelajar hebat, yang berniat membumikan semua ilmunya di ladang pengabdian sebagai rektor.

Nietzsche pernah menulis: “He who has a why to live can bear almost any how.” Siapa yang punya alasan untuk hidup, sanggup menanggung segala cara. Laut barangkali adalah “mengapa” yang memberi arah bagi seluruh jalan hidupnya.

Unhas bukan kampus yang lahir dari pusat. Ia berdiri di timur Nusantara, jauh dari arus besar kekuasaan dan sejarah akademik Jawa. Tapi justru dari timur itu, Prof. JJ menyalakan mimpinya. Bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi mercusuar. Bahwa kampus dari pesisir bisa bicara pada dunia.

Dan ia berhasil. Tahun 2025, Unhas masuk deretan 1.000 universitas terbaik dunia versi QS World University Rankings, lebih cepat dari target  yakni tahun 2028. Angka yang dingin, tetapi gema simbolisnya hangat.

Angka yang membawa pesan penting. Bahwa pusat pengetahuan tak hanya milik kota-kota di Jawa. Ia bisa tumbuh dari pinggir, dari pesisir, dari tempat yang dekat dengan laut.

BACA: Jamaluddin Jompa, Kepemimpinan Unhas, dan Kepemimpinan Maritim

Albert Camus suatu kali menulis tentang laut Aljazair, tentang cahaya yang tak pernah menua. Baginya, di tengah absurditas dunia, laut adalah pengingat akan kehidupan yang terus berdenyut.

Mungkin bagi Prof. JJ, laut di Sulawesi punya gema yang sama: absurditas itu hanya bisa dilawan dengan kerja, dengan cinta, dengan keyakinan pada masa depan.

Dia juga bukan tipe rektor yang hanya duduk manis di kursi kekuasaan, menunggu anggaran turun dari pusat. Prof. JJ lebih mirip entrepreneur sejati yang membangun ekosistem inovasi di dalam kampus.

BACA: Jamaluddin Jompa, Anak Laut, dan Samudera Ilmu

Di bawah kepemimpinannya lahir BUMU (Badan Usaha Milik Universitas), yang mengelola hilirisasi riset menjadi produk nyata: Jagung Jago UH yang sudah bermitra dengan perusahaan benih, Allope dari peternakan, hingga Drone Pertanian yang membantu petani menabur benih.

Dari laboratorium farmasi, muncul Biobetes dan Biodetox, yang diproduksi hingga puluhan ribu botol. Bahkan Unhas kini punya Bank Unhas, bukan hanya lembaga keuangan internal, melainkan juga laboratorium pembelajaran bagi mahasiswa ekonomi.

Kepemimpinan seperti itu jarang muncul di kampus. Prof. JJ menyalin semangat laut ke dalam universitas: dinamis, penuh arus, dan tak bisa diam.

Di balik mimpi global itu, ia tak lupa pada wajah-wajah muda yang memenuhi kampusnya. Setahun silam, mahasiswa Unhas mengumpulkan hampir enam ratus penghargaan, dari provinsi hingga dunia.

Baginya, itu bukan sekadar deret piagam. Ada manusia yang tumbuh di baliknya. Ada generasi yang sedang ditempa arus.

Kisah Prof. JJ adalah kisah laut yang menjelma menjadi kampus. Dari samudra ia belajar: kehidupan adalah ekosistem. Tak ada yang berdiri sendiri. Karang, arus, ikan, plankton, semuanya saling mengikat.

Prinsip itu ia bawa ke dalam ruang akademik: riset, industri, masyarakat, mahasiswa. Semuanya bagian dari ekosistem yang sehat.

Hannah Arendt pernah menulis, “Education is the point at which we decide whether we love the world enough to assume responsibility for it.” Mendidik adalah keputusan untuk mencintai dunia.

Dalam arti itu, kepemimpinannya bukan sekadar administrasi kampus, melainkan cara mencintai dunia, dari timur Nusantara.


Universitas, seperti laut, adalah ruang yang tak pernah selesai. Selalu ada arus baru. Selalu ada ombak yang belum ditaklukkan. Selalu ada tantangan yang menunggu.

Gramsci pernah menulis: “Pessimism of the intellect, optimism of the will.” Realitas bisa keras, penuh keterbatasan. Tapi kehendak bisa selalu melahirkan harapan.

Mungkin itu sebabnya, dalam setiap sambutannya, Prof. JJ kerap mengingatkan: jangan berhenti di garis akhir. Setiap capaian hanyalah awal. Seperti laut yang tak pernah mengenal garis penutup di cakrawala, ia percaya, perjalanan hanya berlanjut.

Dari laut ia berangkat. Dan barangkali, ke laut pula ia kembali.