News
Program
Unhas Speak Up

Ketika Laut Jadi Sumber Listrik: Harapan Baru Energi Terbarukan dari Sulawesi untuk Indonesia Mandiri Energi

Ketua Ocean Energy and Coastal Engineering Research Group (OECEng-RG) Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Ir Muhammad Arsyad Thaha MT dalam wawancara eksklusif bersama Unhas.TV. (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Indonesia tengah berada di persimpangan penting dalam perjalanan menuju kemandirian energi. Di tengah cadangan energi fosil yang semakin menipis dan ketergantungan tinggi terhadap bahan bakar impor, perhatian kini mulai beralih pada energi terbarukan.

Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa target menuju swasembada energi menjadi salah satu prioritas utama nasional.

Namun, mewujudkan hal tersebut tentu bukan hal mudah mengingat kebutuhan energi nasional yang terus meningkat setiap tahunnya.

Dalam menghadapi tantangan ini, sumber energi baru yang berkelanjutan dan efisien menjadi kunci utama, salah satunya adalah energi terbarukan yang berasal dari laut.

Sebagai negara maritim dengan 71 persen wilayahnya berupa lautan, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar yang selama ini belum tergarap maksimal.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Ocean Energy and Coastal Engineering Research Group (OECEng-RG) Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Ir Muhammad Arsyad Thaha MT IPM dalam wawancara eksklusif bersama Unhas.TV.

Menurutnya, ide pembentukan kelompok riset ini lahir dari kesadaran akan kekayaan laut Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.

“TRG kami lahir dari sebuah kesadaran bahwa negara kita ini negara maritim. 71 persen wilayah kita adalah laut. Namun, dalam perkembangannya potensi ini belum mendapatkan perhatian yang cukup besar,” ungkap Dekan Fakultas Teknik Unhas pada tahun 2018-2022 ini.

Ia menambahkan bahwa pendirian kelompok riset ini juga sejalan dengan visi Universitas Hasanuddin sebagai Benua Maritim Indonesia.

“Unhas punya visi benua maritim Indonesia. Maka, sudah seharusnya Unhas tampil menjadi pusat riset pengembangan teknologi kemaritiman, khususnya dalam bidang energi laut,” jelasnya.

Menurutnya, energi laut merupakan salah satu sumber daya yang sangat potensial untuk menopang ketahanan energi nasional ke depan.

Prof. Arsyad yang pernah menjabat Ketua Departemen Teknik Sipil Unhas Periode 2014–2018 ini menjelaskan bahwa energi laut memiliki berbagai jenis yang dapat dikembangkan.

“Ada beberapa sumber energi laut yang bisa dimanfaatkan, seperti energi gelombang, energi pasang surut, energi arus laut, serta energi dari perbedaan suhu antara dasar dan permukaan laut,” terangnya.

Selain itu, ada pula energi yang dihasilkan dari perbedaan salinitas, namun potensinya tidak sebesar empat jenis utama tersebut.

Kondisi geografis Indonesia yang diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menjadikan perairan Nusantara memiliki arus laut yang kuat dan sangat potensial untuk dikonversi menjadi energi.

“Bisa dibayangkan, arus deras yang mengalir di antara pulau-pulau kita itu bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik,” ujar Prof. Arsyad.

Ia menambahkan, wilayah dengan potensi energi laut terbesar di Indonesia antara lain pantai selatan Jawa, pantai barat Sumatera, dan pantai utara Papua, karena ketiganya berhadapan langsung dengan samudra luas yang menghasilkan gelombang besar dan stabil.

Energi laut juga dinilai memiliki keunggulan dibandingkan sumber energi terbarukan lain seperti matahari dan angin. “Kalau surya itu kan hanya siang hari, sedangkan gelombang dan pasang surut adalah fenomena alam yang teratur. Jadi energinya bisa diprediksi dan lebih stabil,” jelasnya.

Selain itu, air laut memiliki massa jenis yang lebih besar dari udara, sehingga energi yang dihasilkan lebih kuat meskipun alatnya berukuran lebih kecil.

“Kalau di laut, alatnya tidak perlu sebesar baling-baling turbin angin. Skala kecil saja sudah bisa menghasilkan daya yang besar,” tambahnya.

Prancis Sejak 1966

Beberapa negara diketahui sudah lebih dulu memanfaatkan energi laut sebagai sumber energi nasional. “Yang pertama mengembangkan itu Prancis, sejak tahun 1966. Mereka fokus pada energi pasang surut. Kemudian Kanada juga luar biasa besar potensinya, perbedaan pasang surutnya bisa mencapai 20 meter,” ungkap Prof. Arsyad.

Negara lain seperti Korea Selatan, melalui proyek Sihwa Lake, juga telah berhasil mengoperasikan pembangkit listrik pasang surut dengan perbedaan ketinggian air sekitar enam meter.

“Kalau di Cina, Jepang, dan Amerika itu masih tahap pilot project karena tantangan terbesarnya ada pada biaya produksi yang mahal,” lanjutnya.

Biaya produksi yang tinggi menjadi kendala utama pengembangan energi laut. “Kelemahan terbesar energi laut adalah biayanya yang tinggi. Jadi kalau teknologinya masih konvensional, hasilnya tidak akan bersaing dengan energi di darat,” ujar Prof. Arsyad.

Karena itu, ia menilai riset teknologi efisiensi menjadi kunci agar energi laut dapat dikembangkan secara luas dan terjangkau.

Dalam riset yang dilakukan tim OECEng-RG Unhas, salah satu inovasi yang dikembangkan adalah mengubah fungsi pemecah gelombang menjadi pembangkit listrik.

“Selama ini pemerintah membangun pemecah gelombang dengan biaya mahal hanya untuk melindungi pantai. Nah, kami berpikir, kenapa energi gelombang itu justru dihancurkan? Kenapa tidak dimanfaatkan?” ungkapnya.

Konsep yang dikembangkan disebut fungsi ganda, di mana struktur pemecah gelombang selain melindungi pantai juga dapat menangkap energi gelombang laut untuk dikonversi menjadi listrik.

“Kalau proyek itu bisa multifungsi, otomatis biayanya lebih murah. Karena anggaran untuk perlindungan pantai sudah ada, tinggal kita cantolkan teknologi pembangkit di situ,” jelasnya.

Salah satu model yang sedang diuji adalah Kaison Box dengan sistem overtopping, yaitu sistem di mana air laut yang melimpas akibat gelombang ditampung di reservoir, menciptakan perbedaan tinggi permukaan air yang digunakan untuk memutar turbin.

“Dari situ, air yang masuk ke reservoar dialirkan keluar melalui turbin dan menghasilkan listrik,” jelasnya.

Hingga kini, tim OECEng-RG terus melakukan uji coba di laboratorium dengan skala yang lebih besar, meski belum sampai pada tahap pilot project di lapangan karena kendala pendanaan.

“Kami sudah melakukan uji coba di laboratorium dengan skala besar, tapi untuk pilot project di lapangan masih terkendala anggaran,” ujarnya.

Guru besar Coastal Engineering‬ ini juga menyampaikan bahwa sudah ada sejumlah mahasiswa doktoral yang meneliti berbagai bentuk konversi energi laut, termasuk sistem pelampung yang bergerak naik turun mengikuti gelombang untuk memutar turbin.

Prof. Arsyad pun menyerukan kepada pemerintah dan dunia industri untuk memberikan perhatian lebih terhadap riset energi laut.

“Saya ingin memberi masukan kepada pemerintah agar lebih besar mengalokasikan anggaran untuk riset dan pengembangan energi laut. Potensinya besar sekali, tapi kita butuh dukungan kebijakan dan pendanaan,” tegasnya.

Dengan kondisi geografis yang strategis dan sumber daya manusia yang mumpuni, Sulawesi Selatan dinilai sangat potensial untuk menjadi pusat pengembangan energi laut nasional.

“Sulawesi Selatan sangat potensial. Selain secara geografis cocok, kita juga punya sumber daya manusia dan fasilitas riset yang mumpuni di Unhas,” ujarnya penuh optimisme.

Ia menegaskan bahwa kolaborasi antara universitas dan pemerintah dapat membawa Indonesia menjadi pelopor energi laut di Asia Tenggara. “Kita punya laut yang luas, kita punya teknologi, tinggal kemauan dan dukungan yang harus kita kuatkan bersama,” tutup Prof. Arsyad.

Energi laut bukan lagi mimpi jauh di masa depan. Dengan riset yang terus berkembang di Universitas Hasanuddin dan dukungan kebijakan yang tepat, Sulawesi berpotensi besar menjadi pusat energi terbarukan dari laut, bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi dunia. 

(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)