Kuliner

Makassar 24 Jam: Dari Songkolo Subuh Hingga Coto Bagadang

Di kota ini, pagi bukan sekadar waktu membuka hari, dan malam bukan alasan untuk pulang cepat. Makassar, kota yang dulu identik dengan demonstrasi dan stigma kekerasan, kini menjelma menjadi kota festival—dan lebih dari itu, kota makan enak.

“Tidak ada satu jam pun di Makassar yang tidak bisa kamu isi dengan makan enak,” ujar Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, mantan Wali Kota Makassar, dalam sebuah wawancara dengan Unhas TV. 

Dengan penuh semangat, pria yang pernah menjabat dua periode itu menjelaskan bagaimana kota ini telah menjadikan kuliner sebagai identitas yang melekat kuat, bahkan menjadi kebanggaan kolektif warganya.

Namun, sejarah panjang kota ini menyimpan rahasia lain dari kekayaan kulinernya. Sejak abad ke-17, Makassar telah menjadi pusat perdagangan penting dan pernah menjadi ibu kota pemerintahan kolonial Belanda di kawasan timur Nusantara. 

Pelabuhan Somba Opu, yang dulunya menjadi simpul vital dalam jalur rempah dunia, menjadi tempat singgah para pedagang dari berbagai penjuru: Melayu, Arab, Cina, India, hingga Eropa. 

Tak heran, warisan cita rasa dari banyak bangsa itu kini bersemayam dalam setiap sendok makanan Makassar.

Ritual Rasa Sepanjang Hari

Tak banyak kota di dunia yang punya alur makan seharmonis Makassar. Mulai dari waktu subuh, ritual kuliner pun dimulai: jam 5 sampai jam 7 pagi adalah waktunya songkolo, makanan khas berbahan dasar ketan yang disajikan dengan parutan kelapa dan sambal. “Itu jamnya songkolo, songkolo time,” ucap Danny sembari tertawa.

Lalu dari jam 7 hingga 9 pagi, giliran nasi kuning unjuk gigi. Setelah itu, jam 9 sampai 10, panggung diisi oleh coto Makassar, sup daging beraroma rempah yang melegenda.

“Setelah coto, jangan buru-buru pulang. Ada palubasa jam 10 sampai 12 siang,” katanya. Palubasa dan coto, menurut Danny, adalah ‘sahabat karib’ yang menempati slot waktu berbeda tapi saling melengkapi.

Memasuki waktu makan siang hingga sore, Makassar tak kehabisan stok rasa. Aneka seafood segar seperti kepiting, ikan bakar, hingga cumi memenuhi meja makan. “Saya pernah diajak makan seafood di Singapura, mereka bangga sekali. Tapi begitu saya lihat, kita punya jauh lebih baik,” ujarnya bangga.

Ketika malam mulai turun, giliran sop saudara dan mie titi—dua ikon malam Makassar—mengisi perut dan hati. Hingga larut malam, varian “bagadang” siap menemani: coto bagadang, palubasa bagadang, songkolo bagadang. Semuanya tersedia 24 jam. 

“Saya berani klaim, tidak ada kota lain yang punya struktur makan sekomplit ini,” tegas Danny.

Kota yang Hidup dari Meja Makan

Bagi Danny, kuliner bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang kohesi sosial. "Kuliner itu titik temu. Di situlah masyarakat Makassar saling bertukar cerita, berdamai dengan hari, atau memulai langkah baru," tuturnya.

Dengan lebih dari 40 jenis makanan khas, Makassar tak hanya memanjakan lidah, tapi juga membangun karakter kota. Kota ini mewarisi semangat niaga dari pelabuhan Somba Opu dan mewujudkannya dalam bentuk piring-piring penuh cerita.

Dulu, Makassar dicap kota keras. Tapi hari ini, ia menjadi destinasi yang dirindukan banyak orang. Indeks kebahagiaan kota mencapai 89,2 persen, salah satu yang tertinggi di Indonesia. Bukan hanya karena taman, festival, atau infrastruktur, tapi juga karena makanannya.

“Mau cari palubasa jam 3 pagi? Bisa. Mau mie titi jam 11 malam? Ada. Itu kekuatan Makassar,” tutup Danny.

Makassar bukan sekadar kota yang sibuk. Ia adalah kota yang terus hidup, bahkan dalam diam malam. Dan hidup itu terasa, dari satu suapan ke suapan berikutnya. Selamat datang di kota makan enak.