
Untuk mengatasi hal ini, konsep Pengawas Minum Obat (PMO) diterapkan. Seorang PMO bertugas mengingatkan pasien untuk minum obat setiap hari dan memantau pengobatan agar tidak terputus. “Kalau ada yang mengawasi dan mengingatkan, biasanya pasien lebih disiplin. Apalagi jika yang mengingatkan adalah keluarga atau orang dekatnya,” katanya.
Meski begitu, peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif juga menjadi kunci utama. Pengucilan terhadap penderita TBC hanya akan memperburuk keadaan. “Stigma terhadap penderita TBC perlu dihilangkan. Mereka butuh dukungan, bukan dijauhi,” tegas dr. Harun.
Selain itu, dr. Harun mengungkapkan bahwa inovasi terus dilakukan. Salah satu penelitian yang saat ini dikembangkan di Rumah Sakit Unhas adalah memperpendek durasi pengobatan dari enam bulan menjadi hanya empat bulan. “Jika ini berhasil, tentu akan menjadi terobosan besar. Pasien akan lebih mudah menyelesaikan pengobatan dan tingkat kepatuhan diharapkan meningkat,” jelasnya.
Matahari Adalah Penangkal
Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis ini sebenarnya dapat dibasmi hanya dengan paparan sinar matahari. Kuman TBC tidak dapat bertahan lama jika terkena sinar matahari secara langsung. Namun, gaya hidup masyarakat yang kini lebih sering berada di ruang tertutup menjadi tantangan tersendiri.
“Kalau ventilasi rumah baik dan sinar matahari masuk, itu sudah sangat membantu. Sayangnya, kebanyakan rumah sekarang minim ventilasi. Ini perlu disadari oleh masyarakat,” ungkap dr. Harun.
Ia juga menambahkan bahwa menjaga daya tahan tubuh adalah kunci untuk terhindar dari TBC. Makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan rutin berolahraga menjadi tiga prinsip utama yang perlu diterapkan. Selain itu, mereka yang kontak erat dengan pasien TBC perlu segera melakukan skrining untuk mendeteksi infeksi secara dini.
Peran Generasi Muda
Menurut dr. Harun, peran generasi muda dalam upaya eliminasi TBC sangat dibutuhkan. “Mereka sangat aktif di media sosial. Edukasi melalui konten-konten kreatif di media sosial bisa sangat membantu menyebarkan informasi penting tentang pencegahan dan penanganan TBC,” sarannya.
Tak hanya sekadar menyebarkan informasi, kesadaran untuk menjaga kesehatan diri juga harus menjadi budaya. “Ingatlah, orang yang terinfeksi atau kemasukan kuman TBC belum tentu sakit. Hanya sekitar 1 sampai 2 persen yang bergejala. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga daya tahan tubuh,” tambahnya.
dr. Harun menutup perbincangan dengan harapan besar. “Kita semua harus berperan, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat. Jika semua berkolaborasi dengan baik, saya yakin Indonesia bebas TBC 2030 bisa tercapai,” katanya penuh keyakinan.
Di balik ambisinya yang besar, dr. Harun tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Namun, ia percaya bahwa dengan sinergi dan kerja keras, penyakit yang menggerogoti paru-paru ini bisa segera diatasi. Ia berharap kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat dan stigma terhadap penderita TBC bisa dihilangkan.
Bagi dr. Harun, setiap pasien yang berhasil sembuh adalah sebuah kemenangan. Namun, perang melawan TBC tidak hanya membutuhkan satu kemenangan, tapi serangkaian kemenangan yang berkelanjutan. Dan, ia siap berada di garis depan.