News

Orangtua Anak Autisme di Makassar Masih Sering Hadapi Stigma Negatif

AUTISME - Ni Nyoman Anna

MAKASSAR, UNHAS.TV - Mengasuh anak adalah tantangan utama setiap orangtua. Namun, bagi orangtua yang memiliki anak dengan spektrum autis, tantangannya justru makin kompleks.

Para orangtua harus menghadapi berbagai kesulitan, mulai kesulitan berkomunikasi hingga stigma dari masyarakat sekitar.

Autis atau biasa disebut autism spectrum disorder adalah sebutan bagi orang-orang yang mengalami gangguan pada sistem saraf yang mempengaruhi perilakunya sehari-hari atau yang disebut juga dengan neurobehaviour.

Orangtua yang memiliki anak-anak dengan spektrum autisme selalu menghadapi tantangan unik setiap hari. Perjuangan yang mereka mereka alami setiap hari, umumnya luput dari kalangan sekitar.

Berhadapan dengan anak-anak dengan spektrum autisme berarti harus berhadapan dengan anak-anak yang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan dan pesannya kepada orang lain.

"Selain tantangan dalam komunikasi, kami juga harus bermuka tebal untuk menghadapi tanggapan orang lain terhadap anak kami. Prasangka tentang autisme menyebabkan orang lain menghakimi penyandang autisme tanpa alasan," kata Ni Nyoman Anna, ibu dari anak yang memiliki spektrum autisme.

Menurut Ni Nyoman Anna, para orangtua juga harus belajar lebih peka saat sang anak menghadapi rangsangan-rangsangan yang mengganggu sensori yang dapat menyebabkan anak tersebut mengalami melt down.

Melt Down adalah keadaan saat anak penyandang autisme tidak bisa menghadapi hal-hal yang mengganggu sensorinya seperti saat berada di keramaian.

Masalah yang paling umum dialami orang autis adalah hipersensitivitas atau hiposensitivitas mereka terhadap rangsangan sensorik. Hipersensitivitas berarti indera mereka tampak terlalu peka. Hiposensitivitas berarti indra mereka tidak berfungsi sama sekali.

Selain rangsangan sentuhan, audio dan visual juga dapat mengganggu sensori penyandang autis. Begitu pula dengan rasa dan tekstur.

Beberapa anak autis cenderung pilih-pilih makanan karena ada rasa tertentu yang mereka hindari. Semua gangguan tersebut tidak terjadi pada satu anak secara bersama.

Jadi, untuk membantu anak-anak mengatasi hambatan interaksi sosial atau komunikasi maka diperlukan berbagai terapi.

Berbagai jenis terapi yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan spektrum autisme seperti terapi bicara, terapi okupansi, dan terapi ABA (Applied Behavior Analysis). Semuanya ini melibatkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk mengajarkan mereka untuk lebih berekspresi dan mengenal emosi.

"Tentu saja membutuhkan biaya tidak sedikit, terutama karena terapi ini harus dilakukan secara rutin untuk mencapai hasil yang optimal. Biaya yang dikeluarkan untuk satu terapi saja berkisar mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta," kata Ni Nyoman.

Dukungan keuangan dari pemerintah maupun lembaga sosial sangat diperlukan untuk meringankan beban keluarga yang memiliki anak dengan spektrum autisme.

Selain itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang autisme juga dapat membantu mengurangi prasangka sehingga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung kepada anak-anak dengan autisme dan keluarga mereka.(*)

Rahmatia dan Muhammad Syaiful (Unhas TV)