
James Gunn memang tidak pernah menyatakan bahwa film ini tentang Israel dan Palestina. Namun dalam wawancaranya dengan The Times, ia mengatakan Superman adalah film tentang politik dan moralitas.
Ia juga menyebutnya sebagai cerita tentang imigran, sebuah frasa yang cukup untuk memantik amarah para pendukung kebijakan anti-imigrasi Donald Trump.
Proses penulisan film ini berlangsung pada saat dunia sedang terbakar oleh berita dari Timur Tengah. Pada Oktober 2023, serangan Hamas ke Israel membuka bab baru dalam sejarah kelam Gaza.
James Gunn menyelesaikan naskahnya pada Desember. Film mulai syuting Februari 2024 dan rampung pada Juli. Dalam waktu sesingkat itu, dunia nyata dan dunia fiksi seperti bertaut satu sama lain.
Di tengah cerita, ada perdebatan yang tidak kalah menarik, apakah Superman seharusnya turun tangan. Lois Lane, dengan sikap skeptisnya, menanyakan apakah Jarhanpur juga berpotensi menjadi ancaman jika dibiarkan. Itu adalah suara yang sering terdengar dalam debat tentang Hamas.
Tapi Superman, pahlawan yang tak berpihak pada negara mana pun, menjawab dengan keyakinan yang tenang, “Aku tak berpihak. Aku hanya ingin menyelamatkan mereka.”
Dan mungkin di situlah film ini mengambil sikap. Bukan tentang siapa yang benar atau siapa yang salah, tapi tentang siapa yang paling rentan, dan siapa yang layak diselamatkan.
Dalam sebuah dunia fiksi, film ini menjadi cermin untuk kenyataan yang jauh lebih kompleks. Bahwa bahkan seorang alien yang datang dari planet lain pun bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres di bumi ini.
Superman dalam versi James Gunn bukan hanya lambang kekuatan super, tapi juga etika dan empati. Ia menolak tunduk pada narasi resmi. Ia hadir untuk mereka yang terinjak.
Ketika bocah itu mengangkat bendera bergambar dirinya, Superman datang. Bukan sebagai dewa, bukan sebagai tentara, bukan pula sebagai wakil dari negara mana pun. Ia datang sebagai satu-satunya yang masih percaya bahwa hidup anak-anak di sisi pagar itu tetap layak dipertahankan.
Mungkin bagi dunia nyata, adegan itu terlalu indah, terlalu mustahil. Tapi dalam gelapnya bioskop, ketika gambar demi gambar bergerak di layar, kita diingatkan akan satu hal sederhana yang kerap kita lupakan.
Bahwa keberanian terbesar bukanlah mengalahkan musuh, melainkan membela mereka yang nyaris tak punya siapa-siapa.
Di dunia yang dipenuhi propaganda dan pembenaran, keputusan itu adalah bentuk keberanian yang paling langka. Bukan karena ia punya kekuatan, tapi karena ia masih punya hati.
“Aku tidak menghentikan perang,” kata Superman, dengan suara yang nyaris lirih. “Aku hanya menyelamatkan anak-anak.”
Dan di balik kalimat itu, tersimpan doa diam-diam kita semua. Bahwa mungkin, suatu hari nanti, dunia tidak lagi membutuhkan Superman untuk tahu bahwa yang paling layak dilindungi adalah yang paling lemah. Bukan karena mereka berkuasa. Tapi karena mereka masih bermimpi.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Pernah kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.